bentuk makalah pdf nya bisa dilihat disini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Tafsir Alquran adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Alquran bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Salah satu bentuk tafsir adalah tafsir tahlili bi al-ra’y. Tafsir tahlili sebagai salah satu metode tafsir yang banya digunakan oelh para mufassir, tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan atau keterbatasan, sebagai manusia, sang penafsir.
Walaupun Alquran bukan kitab ilmiyah –dalam pengertian umum- namun Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang sosial masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah Alquran litukhrija al-na>s min al-zhuluma>t ila al-nu>r (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan yang sama, dapat dipahami mengapa Kitab Suci umat Islam ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikaitkan bahwa Alquran merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum masyarakat.
Kehidupan bermasyarakat manusia tidak akan lepas dari lingkup sosial. Manusia yang hakikatnya makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk saling bersekutu atau berkelompok dalam rangka mencapai tujuan dalam hidupnya. Di mana di dalam kelompok ini terdapat gejala saling membantu, tetapi di sisi lain terdapat pertikaian hingga terwujud dalam bentuk peperangan. Sehingga kehidupan sosial tidak sedikit yang diwarnai oleh perilaku manusia yang antara satu individu dan individu lain memiliki perbedaan perilaku dan karakter orang lain dalam kelompok yang besar. Antara perbedaan dan persamaan tersebut akhirnya membentuk situasi sosial tertentu, seperti kerjasama dan perselisihan.
Dengan demikian, penulis akan menjelaskan tafsir ayat sosial dalam Alquran dengan metode tahlili bi al-ra’y.
1. Seorang mufassir yang menafsirkan Alquran dengan metode tahlili, mereka relatif bebas dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran sehingga mereka diberikan kesempatan untuk berkreasi menuangkan ide-idenya terhadap ayat-ayat Alquran yang ditafsirinya selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah yang mu’tabar.
2. Manusia merupakan makhluk sosial karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa berhubungan dengan manusia yang lain bahkan untuk urusan sekecil apapun, mereka tetap membutuhkan orang lain untuk membantu.
3. Perlu adanya pemaparan kepada masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang tidak secara mentah-mentah menerima Alquran tanpa adanya penjelasan. Sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif terkait dengan Alquran. Lebih-lebih mengambil suatu hukum sosial dari Alquran.
2. Bagaimana pengertian sosiologi?
3. Bagaimana penafsiran metode tahlili bi al-ra’y dalam al-Hujurat ayat 9?
2. Untuk mengetahui pengertian sosiologi.
3. Untuk mengetahui penafsiran surat al-Hujurat ayat 9.
1. Dalam bukunya Nashiruddin Baidan yang berjudul Metodologi Penafsiran Alquran diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta pada tahun 1998 mengatakan bahwa, metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
2. Berdasarkan Sejarah dan Metodologi Tafsir karya Ali Hasan al-Aridl yang diterbitkan oleh PT:RajaGrafindo Persada Jakarta pada tahun 1994, bahwa mufassir itu harus mengetahui kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat, yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, dan lain-lain sebagainya.
3. Berdasarkan Sosiologi Umum karya G. Kartasapoetra dan L.J.B Kreimers yang diterbitkan oleh Bina Aksara Jakarta pada tahun 1987, Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok.
4. August Comte dan Ibnu Khaldun merupakan perintis awal sosiologi. Ini terdapat dalam Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial karya Phil. Astrid S. Susanto diterbitkan oleh Binacipta pada tahun 1983.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Kajian Pustaka
F. Outline
BAB II METODE TAFSIR TAHLILI BI AL-RA’Y DAN SOSIOLOGI
A. Tahlili Bi al-Ra’y
B. Sosiologi
BAB III SOSIOLOGI DALAM SURAH AL-HUJURAT AYAT SEMBILAN
A. Ayat, Mufradat, dan Terjemah
B. Asbab Al-nuzul
C. Munasabah Ayat
D. Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat Sembilan
E. Kandungan ayat
F. Analisis
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Untuk itu ia menguaraikan kosakata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, dan harus selalu merujuk kepada sebab-sebab turunya ayat, hadis-hadis Rasulullah SAW dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Para ulama’ membagi wujud tafsir Alquran dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yakni:1) Tafsir bi al-Ma’tsur.2) Tafsir bi al-Ra’yi. 3) Tafsir Shufy.4) Tafsir Fiqhy.5) Tafsir Falsafy.6) Tafsir ‘Ilmy. 7) Tafsir Adaby.
Dari beberapa macam-macam tafsir di atas, terdapat dua metode utama tafsir. Yaitu, tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-ra’y.
Metode tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari metode tafsir lainnya, ciri-ciri tersebut adalah:
a) Mufassir menafsirkan ayat per ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai dengan mushhaf.
b) Mufassir menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran secara komperhensif dan menyeluruh, baik dari segi i’rob, munasabah ayat atau surat, asbab nuzulnya maupun dari segi lain.
c) Dalam penafsiran seorang mufassir tahlili menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan pendekatan bi al-ma’tsur maupun bi al-ra’yi.
d) Bahasa yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai metode tafsir ijmali.
Dalam menggunakan metode penafsiran tahlili, terdapat langkah-langkah penafsiran yang pada umumnya digunakan, yaitu :
a) Menerangkan makki dan madani di awal surat.
b) Menerangkan munasabah.
c) Menjelaskan asba>b nuzu>l (jika ada).
d) Menerangkan arti mufradat (kosakata), termasuk di dalamnya kajian bahasa yang mencakup i’rab dan balaghah.
e) Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaznya.
f) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
g) Menjelaskan hukum yang dapat digali dariayat yang dibahas.
Segala sesuatu hal di dunia ini, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan metode tahlili ini. Di antara kelebihan metode tafsir tahlili ialah sebagai berikut;
a) Metode tahlili mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya: ma’tsur dan ra’y.
b) Di dalam tafsir analitis ini mufassir relatif mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran Alquran daripada tafsir yang metode ijmaly. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir analitis lebih pesat perkembangannya ketimbang tafsir ijmali.
Dan di antara kekurangan metode tahlili adalah sebagai berikut:
a) Menjadikan petunjuk Alquran parsial
Seperti halnya metode global, metode tahlili juga dapat membuat petunjuk Alquran bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Alquran memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
b) Melahirkan penafsiran subjektif
Metode tahlili memberikan peluang yang luas sekali kepada mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang menafsirkan Alquran sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Hal itu dimungkinkan karena metode tahlili membuka pintu untuk yang demikian.
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Alquran. Berkat metode ini, maka lahirlah karya-karya tafsir yang besar-besar, tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Namun di mana letak urgensi tersebut? Ini yang perlu dibahas.
Dalam penafsiran Alquran, jika ingin menjelaskan kandungan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqh, teologi, filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih berperan dan dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.
2. Pengertian tafsir bi al-ra’y
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka (kaum etologis menafsirkan dari sudut pandang teologis, seperti al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari, dan lain-lain). Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y.
Yang dinamakan dengan tafsir bi al-ra’y adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri juga berdasar pada pikiran-pikiran rasional (ijtihad) dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’y (pendapat) semata.
Ulama’ yang menempuh metode tafsir bi al-ra’y ini bersandar di antaranya pada firman Allah:
أفلا يتدبّرون القرآن أم علي قلوب أقفالها.
Maka tidaklah mereka menghayati Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?
Para ulama’ menegaskan, bahwa tafsir bi al-Ra’y ada yang dapat diterima dan ada pula yang batal dan ditolak. Tafsir bi al-Ra’y dapat diterima apabila mufassirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafadh-lafadh arab dan cara penunjukannya (dilalah) atas makna yang dikehendaki, sebab-sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar akidahnya dan menjadikan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran serta berangkat dengan tujuan yang benar. Ia juga harus berpegang pada apa yang diriwayatkan oelh Rasulullah dan menguasai ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, bayan, qira’ah, Ushul al-fiqh, ulum al-hadith, ushul al-din, dan ilmu al-mawhibah (ilmu yang Allah karuniakan kepada siapa saja dari hamba-hambaNya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya).
Selain harus memenuhi kualifikasi ilmiah seperti tersebut di atas, mufassir bi al-ra’y harus menghindari enam hal sebagai berikut :
a) Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b) Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
c) Menafsirkan dengan disertai dengan hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
d) Menafsirkan ayat-ayat dengan makna yang tidak dikandungnya (dimungkinkannya).
e) Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham madzhab tersebut. Seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-Asam, al-Juba’i, ‘Abdul Jabbar, al-Rummani, Zamakhsyari, dan lain-lain sebagainya.
f) Menafsirkan dengan disertai dengan memastikan, bahwa makna yang dikehendaki oleh Allah adalah makna demikian, dengan tanpa didukung oleh dalil.
Jadi, menafsirkan Alquran dengan ra’y (pendapat) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Seperti sabda Rasulullah SAW:
من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوّأ مقعده من النّار.
Barang siapa berkata (menafsirkan) Alquran semata-mata berdasarkan pendapatnya atau sesuatu yang tidak ia ketahui, maka bersegeralah ia menuju tempatnya di neraka.
Kemudian, al-Tabari menanggapi dengan menegaskan:
Mufassir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Alquran –yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia- adalah mufassir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya, karena penafsirannya disandarkan kepada Rasulullah, baik melalui penukilan paripurna (mustafid{) bila ada, penukilan oleh orang-orang yang teguh lagi terpercaya bila tidak terdapat penukilan paripurna, ataupun dengan dalil-dalil yang menjamin kesahihan penukilan tersebut. Selanjutnya, adalah mufassir paling sahih bukti dan argumentasinya, dalam hal yang diterjemahkan dan dijelaskannya, yaitu mufassir yang menafsirkan Alquran menurut kaidah-kaidah bahasa, baik dengan bertendensi pada syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dalam bahasa mereka yang sempurna dan terkenal. Ini berlaku bagi semua penta’wil dan mufassir selama penta’wilan dan penafsirannya tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf; sahabat dan para imam, serta tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabi’in dan ulama’ umat.
Di antara kitab-kitab tentang tafsir bi al-ra’y adalah :
a) Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafy.
b) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan Al-Baidhawy.
c) Lubab al-Ta’wil fy Ma’any al-Tanzil, karangan al-Khazin.
d) Ruh al-Ma’any fy Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’u al-Matsani, karangan al-Alusy.
e) Al-Tafsir al-Kabir “Mafatih al-Ghayb”, karangan al-Fakh al-razy.
3. Pengertian metode tahlili bi al-ra’y
Dari penjelasan-penjelasan di atas, diketahui bahwa tafsir tahlili bi al-ra’y adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu berdasar pada pikiran-pikiran rasional (ijtihad) dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’y (pendapat) semata.
Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor –faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
Sosiologi ialah ilmu tentang struktur yang stabil dan proses sosial. Juga dapat diartikan sebagai satu ilmu yang meneliti tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat/sosialnya.
Patirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang :
a. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama : keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala sosialdan gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan lain sebagainya);
c. Ciri-ciri umum daripada semua jenis gejala-gejala sosial.
2. Sejarah singkat
Banyak orang yang membahas dan membicarakan tentang sosiologi, sebagai ilmu ataupun dalam pembicaraan biasa. Sebagaimana halnya dengan ilmu politik yang banyak “dikuasai” orang, maka demikian pula halnya dengan sosiologi. Mengapa demikian. Suatu kenyataan, bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempunyai sebagai materi penelitinya: segala kejadian nyata dalam kehidupan manusia. Juga Plato dan Aristoteles telah membahas banyak hal yang merupakan sebagian dari sosiologi, hanya pembahasannya dilakukan dalam filsafat tentang masyarakat jamannya.
Dalam fase permulaan dari sosiologi, juga tidak dapat dielakkan bahwa sebagaimana suatu ilmu, ia berpangkal pada filsafat yang dikenal sebagai “Ibu Ilmu Pengetahuan”. Plato (429-374 SM) membahas unsur-unsur sosiologi dalam pembahasannya tentang negara; Aristoteles (384-322 SM) membahas unsur-unsur sosiologi dalam hubungan dengan etika sosial, yaitu bagaimana (seharusnya) tingkah-laku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia ataupun dalam kehidupan sosialnya.
Melalui Jean Bodin (1530-1596) yang memisahkan antara kehidupan politik, unsur sosiologi lebih menonjol lagi. Bodin membayangkan kehidupan sosial (mikro) sebagai kehidupan yang tenang dan damai, akan tetapi kehidupan politik (makro) sebaliknya penuh dengan perebutan kekuasaan. Dalam rangka ini dapat juga disebut nama dari Thomas Hobbes, John Locke serta Jean Jaques Rousseau yang ikut memberikan bentuk dan menunjukkan arah kepada ilmu yang kemudian dikenal sebagai sosiologi berdasarkan pikiran Kontrak Sosial mereka. Di dunia Arab terkenal nama dari Ibn Khaldun (1332-1406) yang memiliki pemikiran sosiologik lebih terperinci lagi dan sangat maju, sehingga ia sering disebut juga sebagai peletak batu pertama dari sosiologi, yaitu mendahului Auguste Comte (1789-1857). Sesudah itu Herbert Spencer lebih jelas lagi memberikan bentuk bahkan menggunakan nama sosiologi, yaitu dalam tulisannya Principles of Sociology.
Nama-nama seperti Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Karl Marx (Jerman), Vilfredo Pareto (Itali), Pitirim A. Sorokin (berasal dari Rusia), Max Weber (Jerman), Steinmetz (Belanda), Charles Horton Cooley (Amerika Serikat), Lester F. Ward (Amerika Serikat), dan lain sebagainya adalah beberapa nama-nama terkemuka dalam perkembangan sosiologi di benua Eropa dan Amerika. Dari Eropa, ilmu sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain, termasuk Indonesia.
3. Ciri-Ciri dan Hakikat sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri oleh karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah :
a. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebyt didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif
b. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil abservasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka daripada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.
c. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama.
d. Bersifat neo-ethis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Adapun sifat-sifat dan hakikat sosiologi adalah :
a. Sosiologi bersifat ensiklopedis. Artinya, ilmu tersebut lebih banyak menyoroti keseluruhan kehidupan sosial manusia dan sejarahnya.
b. Sosiologi termasuk disiplin ilmu kategori, bukan merupakan disiplin ilmu normatif karena sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi.
c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science), seperti ilmu kedokteran, farmasi, dan lain-lain sebagainya.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang konkrit. Artinya, bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, tetapi bukan wujud yang konkrit.
e. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum, dan mencari prinsip-prinsip, hukum-hukum umum dari interksi manusia, hakikat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat manusia. f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Ini menyangkut metode yang digunakan. g. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.
4. Kegunaan Sosiologi
Adapun kegunaan sosiologi antara lain :
a. Untuk pembangunan. Sosiologi berguna untuk memberikan data-data sosial yang diperluakan pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun penilaian pembangunan.
b. Untuk penelitian. Tanpa penelitian dan penyelidikan sosiologis tidak akan diperoleh perencanaan sosial yang efektif atau pemecahan masala-masalah sosial dengan baik.
5. Objek sosiologi
Seperti halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di masyarakat.
Phil Astrid S. Susanto membagi objek sosiologi menjadi dua bagian. Yakni objek materi dan objek formal. Objek materi dari sosiologi ialah kehidupan sosial manusia. Dan objek formal dari sosiologi adalah:1) pengertian terhadap lingkungan sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari.2) meningkatkan kehidupan masyarakat yang serasi.3) meningkatkan kerjasama antar manusia.
Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah; jika ia telah kembali maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
و إن طائفتان من المؤمنين : أي جماعاتان قلّ أفرادهما أو كثروا من المسلمين.
(dua gerombolan kelompok dari orang-orang Islam baik itu banyak atau sedikit)
اقتتلوا فأصلحوا بينهما : أي هموا بالاقتتال أو باشروه فعلا فأصلحوا ما فسد بينهما.
(yang ricuh dengan pertikaian maka bersegeralah untuk mendamaikan ada yang rusak antara keduanya)
فإن بغت إحداهما علي الأخري : أي تعدت بعد المصلحة بأن رفضت ذلك و لم ترض بحكم الله.
(setelah ishlah kembali lagi dengan menentang atau menolak dan belum rela dengan ketentuan atauu hukum Allah)
فقاتلوا الّتي تبغي حتّي تفيئ إلي أمر الله : أي قاتلوا أيّها المؤمنون مجتمعين الطائفة التي بغت حتي ترجع إلي الحقّ.
(perangilah, wahai orang-orang yang beriman salah satu dari dua kelompok yang membangkang sampai ia kembali pada kebenaran )
فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل : أي رجعت إلي الحق بعد مقاتلتها فأصلحوا بينهما بالعدل أي بالحق.
(kembali pada kebenaran setelah peperangan, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, yakni dengan kebenaran)
و أقسطوا إنّ الله يحبّ المقسطين : أي و أعدلوا في حكمكم إن الله يحب أهل العدل.
(berlaku adillah dalam hukum kalian, sesungguhnya Allah menyukai ahli adil dalam bertindak)
Maka, seluruh lafadz tersebut dapat diartikan bahwa jika ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang mereka adalah orang-orang yang beriman bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu, sedang atau masih terus-menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga enggan menerima kebenaran atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima kebenaran; jika ia telah kembali kepada perintah Allah itu maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusanmu dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Dalam suatu riwayat Bukhari dari Anas dikemukakan, bahwa Nabi SAW pergi ke rumah Abdullah bin Ubay (munafiq) dengan mengendarai keledai. Dan orang-orang Islam juga brjalan bersama Nabi SAW. Abdullah bin Ubay berkata: “Enyahlah engkau dariku! Demi Allah aku terganggu dengan bau busuk keledaimu ini”. Berkatalah seorang Anshar: “Demi Allah, keledai Rasulullah lebih harum baunya daripada engkau”. Mendengar pernyataan ini, marahlah anak Abdullah bin Ubay kepadanya. Sehingga timbullah kemarahan antara kedua belah pihak dan terjadilah perkelahian dengan menggunakan pelepah korma, tangan dan sandal. Berkenaan dengan peristiwa ini, maka turunlah ayat sembilan yang memerintahkan untuk menghentikan peperangan dan menciptakan perdamaian.
Dalam riwayat lain mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa dua orang sahabat Anshar yang bersengketa tentang suatu urusan hak milik. Salah seorang dari mereka berkata bahwa ia akan mengambil haknya dari yang lain dengan paksaan. Ia mengancam demikian karena banyak pengikutnya, sedangkan yang satu lagi mengajak dia supaya minta keputusan kepada Nabi saw. Ia tetap menolak sehingga perkaranya hampir-hampir menimbulkan perkelahian dengan tangan dan terompah, meskipun tidak sampai menggunakan senjata tajam.
Dalam riwaayat lain pula dikemukakan, bahwa seorang laki-laki Anshar yang bernama Imran beristerikan Ummu Zaid. Istrinya bermaksud ziarah ke rumah keluarganya, akan tetapi dilarang oleh suaminya bahkan dikurung di atas loteng. Sang istri pun segera mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa ke rumah keluarganya. Sang suami meminta tolong kepada ahlinya. Maka datnglah anak-anak pamannya mengambil kembali wanita tersebut dari keluarganya. Dengan demikianlah terjadi perkelahian pukul-memukul dengan menggunakan sandal untuk memperebutkan wanita itu. Maka turunlah ayat: 9 ini yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Kemudian, Rasulullah mengirimkan utusan untuk mendamaikan perselisihan, dan tunduklah mereka kepada perintah Allah SWT.
يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبيّنوا.
Pada ayat-ayat berikut, Allah kembali menerangkan bahwa berita-berita itu mungkin membawa akibat yang buruk atau menyebabkan perpecahan dan permusuhan di antara dua golongan kaum Muslimin, bahkan dapat pula berakibat sampai menimbulkan peperangan.
Dalam lafadz in (إن), ini merupakan pertanda bahwa pertikaian antara kelompok orang yang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Jika dikatakan, “kami melihat pertikaian merajalela antara kelompok tersebut?” maka jawaban yang tepat yakni Allah saja dalam ayat ini menyatakan dengan menggunakan lafadz in, berarti petanda bahwa pertikaian itu tidak terjadi kecuali hanya jarang. Tujuan dari bab ini (tentang in) ada dalam ayat ini adalah perintah itu berada pada perlawanan dari yang seharusnya ada. Seperti juga dalam kalimat (إن جاءكم فاسق بنبأ) adalah suatu pertanda bahwa datangnya seorang yang fasiq yang disertai dengan berita itu harus terjadi jarang, padahal datangnya fasiq dengan berita itu banyak. Dan perkatan fasiq dalam pernyataan yang pertama tadi lebih diterima daripada perkataan orang yang jujur lagi shalih.
Dalam lafadz (إن طائفتان) ini tidak dikatakan (إن فرقتان) hal ini sebagai penguat atas makna dari yang telah disebutkan tadi, yakni tanda sedikit. Artinya, kelompok yang dimaksud di sini itu tidak sebanya personal kelompok dari kata firqah. Karena personal kata firqah itu lebih banya dari pada personal kelompok yang ada pada kata t}aifah, seperti dalam firman Allah SWT :
فلولا نفر من كلّ فرقة منهم طائفة.
Dalam lafadz (من المؤمنين) ini tidak dikatakan minkum (منكم) yang marji’nya pada kalimat sebelumnya, yakni lafadz (يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ) dan antara keduanya memiliki satu makna. Hal ini sebagai peringatan bahwa pertikaian itu merupakan perbuatan yang jelek harus dihindari manusia.
Kemudian dalam kalimat (و إن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا) ini tidak dikatakan (و إن اقتتل طائفتان من المؤمنين), padahal lafadz in (إن) itu lebih utama bersambungan dengan kata kerja (fi’il). Hal ini adalah sebagai permulaan dari larangan pertikaian (peperangan), kemudian dikuatkan oleh lafadz nakirah yang juga menunjukkan tentang hal tersebut dengan menggunakan in (إن). Jelasnya, bahwa yang dilarang bertikai itu antara dua kelompok mukmin tersebut, maka didahulukan. Kemudian ditaukidi dengan isim nakirah yang berkorelasi dengannya, yakni kata in (إن). Semua itu disebabkan dua t}aifah (kelompok) tersebut sama-sama mukmin dan seharusnya peperangan tidak terjadi antara mereka berdua (dua kelompok tersebut). Tetapi kalau dalam lafadz yang terdapat dalam (يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق) ini tidak dikatakan (يا أيّها الّذين أمنوا إن فاسق جاءكم) atau (إن أحد من الفاسق جاءكم). Hal ini karena jika didahulukan menimbulkan keambiguannya suatu perkataan. Yakni menjadi fasiq? Dikatakan kedatangan dengan berita yang bohong itu menyebabkan seseorang menjadi fasiq, atau bertambah fasiqnya karena adanya sebab-sebab, lalu kadatangannya tersebut itu menimbulkan fasiq maka kata datang (جاء) didahulukan. Adapun pertikaian (peperangan) itu tidak menjadikan bertambah atau kurangnya iman.
Lafadz (اقتتلوا) ini tidak menggunakan kata yang berbentuk tasniyah yang kembali pada lafadz (طائفتان). Ini dikarenakan lafadz t}aifah tersebut dikembalikan pada (طائفتان) yang berbentuk jama’ menurut maknanya. Dan lafadz (اقتتلوا) itu kembali ke lafadz (طائفتان) menurut bentuk tunggalnya. Seperti halnya lafadz (هذان خصمان اختصموا). Sedangkan dhomir yang ada pada lafadz (بينهما) ini kembali ke lafadz (طائفتان) menurut lafadznya.
Jumhur membaca iqtatalu (اقتتلوا) dengan dasar kata tunggal dari lafadz t}a>ifataini. Ibnu Abi ‘Ablah membaca (اقتتلتا) atas dasar dari kata yang kembali ke lafadz (طائفتان). Dan Zaid bin Ali dan ‘Ubaid bin ‘Umair membacanya (اقتتلا), mengingat kata dalam dua kelompok tersebut berbentuk muannas.
Di sisi lain, penggunaan penggunaan bentuk kata kerja masa lampau di sini, tidak juga harus dipahami dalam arti “telah melakukan” hal itu, tetapi hampir dalam arti “hampir melakukannya”. Ini serupa dengan ucapan pengumandang adzan: “Qad qa>mat al-shala>t” yang secara harfiyah berarti “salat telah dilaksanakan,” padahal saat ucapannya itu salat baru segera akan dilaksanakan. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan nampak di kalangan mereka. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkan api sebelum menjalar.
Kata (بغت) baghat terambil dari kata (بغى) bagha> yang pada mulanya berarti “berkehendak”. Tetapi kata ini berkembang maknanya sehingga ia biasa digunakan untuk kehendak yang bukan tempatnya, dan dari sini ia dipahami dalam arti “melampaui batas”. Pakar-pakar hokum Islam menamakan kegiatan kelompok yang melanggar hokum dan berusaha merebut kekuasaan dengan kata (بغى) baghy, sedang para pelakunya dinamai (بغاة) bugha>t.
Dalam kata (إن بغت) ini tidak dikatakan (إن تبغ) seperti penjelasan iqtatalu (اقتتلوا) yang tidak menggunakan kata mudhori, melainkan menggunakan kata lampau. Kata mudhari’ itu menunjukkan arti sedang dikerjakan dan terus-menerus. Jika digunakan kata mudhari’nya, maka secara tidak langsung, Allah menyruh manusia untuk sering-sering menganiaya. Tetapi, dalam ayat kata tersebut tidak menggunakan kata mudhari’, melainkan menggunakan kata lampau. Jadi, secara tidak langsung pula, Allah menyuruh manusia untuk tidak menganiaya sesama.
Kemudian, kata (فإن بغت إحداهما) ini juga merupakan pertanda jarang atau sedikit terjadi untuk yang kedua kalinya, seperti yang terdapat dalam lafadz (إن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا) tetapi dalam hal ini mengenai penganiayaan. Jika dikatakan bagaimana kebenaran mengenai penempatan ini, yang mana in tersebut ditempatkan pada kalimat syarat, yang nyatanya tidak terjadi. Penganiayaan itu biasa terjadi pada pertikaian (peperangan), jadi dapat difahami di sini bahwa salah satu dari orang yang bertikai tersebut tidak menerima untuk hal yang bagus (berdamai), dan kata in ini ada sebelum terjadinya sesuatu, maka dapat difahami bahwa pertikaian (peperangan) itu kejadiannya tidak terus menerus (jarang). Yakni seperti dugaan bahwa salah satu dari kedua kelompok tersebut adalah orang kafir, maka peperangan tersebut dihukumi wajib.
Kata (فإن بغت إحداهما), in di sini bukan in huruf syarat yang memerlukan kalimat jawab, melainkan in wiqayah (in yang berarti meskipun). Ini juga menunjukkan kejarangan terjadinya.
Dalam kata (حتّي تفيئ) ini menunukkan bahwa peperangan itu bukanlah suatu balasan atas penganiayaan, seperti had syurb yang dilaksanakan ketika seseorang meminum minuman keras dan jika tidak, maka seseorang tersebut tidak dikenai hukuman tersebut, tetapi hanya suatu batas akhir dari adanya penganiayaan. Jelasnya, segala penganiayaan jika bisa diatasi dengan jalan lain selain pertikaian (peperangan), sebaiknya menggunakan jalan tersebut. Dan jika sudah benar-benar tidak ada jalan lain selain peperangan, maka barulah jalan ini kemungkinan bisa ditempuh.
Tafi>’a ila> amr Alla>h artinya sehingga golongan itu telah kembali kepada perintah Allah. Kata Tafi>’a bentuk kata kerja sekarang dan kata kerja lampaunya adalah fa>’a, kata jadinya adalah al-fay’. Kalimat yang akar katanya ini berkisar paad arti “kembali”. Bayangan sesuatu pada sore juga disebut al-fay’ karena bayangan tersebut kembali dari arah barat menuju arah ke arah timur. Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa kata al-fay’ ditujukan kepada arti kembali kepada sesuatu yang terpuji sebagaimana pada surah al-Hujurat ini. Harta rampasan perang tanpa ada perlawanan dari musuh disebut juga al-fay’ karena harta adalah laksana bayang-bayang yang tidak abadi. Bisa juga karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin.
Adapun kata (إلي أمر الله) ini mengandung beberapa arti :
1) ketaatan pada Rasulullah dan pemerintah, seperti firman Allah:
أطيع الله وأطيع الرسول و أولى الأمر منكم. 2) perintah Allah, yakni pada kemaslahatan karena semua orang diperintahkan untuk hal tersebut, seperti firman Allah: فأصلحوا ذات بينكم.
3) Perintah Allah untuk bertaqwa. Karena sesungguhnya barang siapa yang takut kepada Allah dengan takut yang sesungguhnya, maka dia tidak memiliki musuh satupun kecuali setan. Seperti firman Allah: إنّ الشيطان لكم عدو فاتّخذوه عدوّا.
Kata (اصلحوا) ini terambil dari kata (اصلح) yang asalnya adalah(صلُح). Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada (فسد) yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluh{a berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang (إصلاح) adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Memang ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau agar ia dapat berfungsi dengan baik. Kursi misalnya, harus memiliki kaki yang sempurna, baru dapat berfungsi dengan baik dan dapat bermanfaat. Jika salah satu kaki kursi tersebut rusak, maka perlu dilakukan ishla>h{ atau perbaikan agar ia dapat berfungsi dengan baik secara bermanfaat sebagai kursi. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut adanya ishla>h{ yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan dengan demikian terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan.
Ayat di atas memerintahkan untuk ishlah sebanyak dua kali. Tetapi yang kedua dikaitkan dengan (بالعدل) dengan adil.ini bukan berarti bahwa perintah ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu ditekankan lebih keras lagi karena yang kedua telah didahului oelh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Dalam menindak itu, bisa jadi terhadap hal-hal yang bisa menyinggung perasaan atau bahkan mengganggu fisik yang melakukan ishlah itu, sehingga jika ia tidak berhati-hati dapat saja lahir ketidakadilan dari yang bersangkutan akibat gangguan yang dialaminya pada upaya ishlah yang pertama. Dari sini ayat di atas menyebut secara tegas perintah berlaku adil itu.
Kata (أقسط) berasal dari kalimat ruba’I yang hamzahnya menunjukka arti salb, yakni hilangkanlah ketidakadilan. Berbeda dengan qisth yang berasal dari kalimat yang berbangsa tiga huruf (tsulasi) yang searti dengan (جار).
Kata (المقسطين) terambil dari kata (قسط) qisht yang juga biasa diartikan adil. Sementara ulama’ mempersamakan makna dasar (قسط) dan (عدل), dan juga membedakannya dengan berkata bahwa al-qisth adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedang ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Dengan demikian win-win solution dapat merupakan salah satu bentuk dari qisth, Allah senang ditegakkannya keadilan walau itu mengakibatkan ketenggangan hubungan antara dua pihak yang berselisih, tetapi Dia lebih senang lagi jika kebenaran dapat dicapai sekaligus menciptakan hubungan harmonis antara pihak-pihak yang tadinya telah berselisih. Ayat di atas mengandung adanya peperangan terhadap orang yang menganiaya. Yakni mereka yang keluar dari kepemimpinan (tata cara) orang-orang Islam secara dholim dan memusuhi pada ketaatan Allah. Dalam ayat ini jelas sekali bahwa perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat juga diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongna yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan salah satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya maka dia hendak terus berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang mau berdamai yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini bisa dikatakan sebagai orang yang menganiaya. Maka orang yang hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai di aklah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu, barulah diperiksai dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah tangan. Sama sekali wajib dikembalikan kepada Allah.
Berdasarkan pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan, melainkan mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan oleh Sang Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.
Konflik ini adalah salah satu masalah sosial yang nantinya dapat lari menjadi peprangan atau pertikaian. Suatu masalah sosial adalah suatu persoalan atau isyu sekitar suatu perkembangan, suatu kecenderungan, atausuatu situasi dalam peristiwa-peristiwa manusiawi yang berkaitan dengan sesuatu atau bebrapa kelompok. Hal itu berhadapan dengan suatu kesulitan sosial yang dapat dikatakan sangat meminta perhatian. Perhatian demikian mengambil bentuk diskusi, dan kemungkinan juga agitasi, penyelidikan, dan keputusan atau ketegasan. Yang kesemuanya dapat membimbing pada kegiatan atau tindakan korektif, pengimbangan atau penyesuaian. Seringnya terdapat perbedaan pada segi-segi pandangan sosial dan bahkan menimbulkan konflik pada sifat-sifat dari suatu masalah sosial atau mungkin pula pada masalah yang melingkup keseluruhan sosial.
1. Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
2. Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor –faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
3. Dalam ayat 9 dari surat al-Hujurat ini jelas sekali bahwa perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat juga diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongna yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan salah satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya maka dia hendak terus berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang mau berdamai yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini bisa dikatakan sebagai orang yang menganiaya. Maka orang yang hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai di aklah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu, barulah diperiksai dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah tangan. Samasekali wajib dikembalikan kepada Allah.
2. Dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan ilmu dan dapat memepertebal keimanan serta menjalankan segala apapun yang diperintahkan oleh Allah karena Dia adalah satu-satunya dzat yang layak disembah dan dimintai pertolongan.
Walaupun Alquran bukan kitab ilmiyah –dalam pengertian umum- namun Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang sosial masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah Alquran litukhrija al-na>s min al-zhuluma>t ila al-nu>r (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan yang sama, dapat dipahami mengapa Kitab Suci umat Islam ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikaitkan bahwa Alquran merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum masyarakat.
Kehidupan bermasyarakat manusia tidak akan lepas dari lingkup sosial. Manusia yang hakikatnya makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk saling bersekutu atau berkelompok dalam rangka mencapai tujuan dalam hidupnya. Di mana di dalam kelompok ini terdapat gejala saling membantu, tetapi di sisi lain terdapat pertikaian hingga terwujud dalam bentuk peperangan. Sehingga kehidupan sosial tidak sedikit yang diwarnai oleh perilaku manusia yang antara satu individu dan individu lain memiliki perbedaan perilaku dan karakter orang lain dalam kelompok yang besar. Antara perbedaan dan persamaan tersebut akhirnya membentuk situasi sosial tertentu, seperti kerjasama dan perselisihan.
Dengan demikian, penulis akan menjelaskan tafsir ayat sosial dalam Alquran dengan metode tahlili bi al-ra’y.
B. Identifikasi Masalah
Terkait tentang metode tahlili bi al-ra’y dan sosiologi, ada bebrapa permasalahan yang dikaji:1. Seorang mufassir yang menafsirkan Alquran dengan metode tahlili, mereka relatif bebas dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran sehingga mereka diberikan kesempatan untuk berkreasi menuangkan ide-idenya terhadap ayat-ayat Alquran yang ditafsirinya selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah yang mu’tabar.
2. Manusia merupakan makhluk sosial karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa berhubungan dengan manusia yang lain bahkan untuk urusan sekecil apapun, mereka tetap membutuhkan orang lain untuk membantu.
3. Perlu adanya pemaparan kepada masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang tidak secara mentah-mentah menerima Alquran tanpa adanya penjelasan. Sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif terkait dengan Alquran. Lebih-lebih mengambil suatu hukum sosial dari Alquran.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian metode tahlili bi al-ra’y?2. Bagaimana pengertian sosiologi?
3. Bagaimana penafsiran metode tahlili bi al-ra’y dalam al-Hujurat ayat 9?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami pengertian metode tahlili bi al-ra’y.2. Untuk mengetahui pengertian sosiologi.
3. Untuk mengetahui penafsiran surat al-Hujurat ayat 9.
E. Kajian Pustaka
Kajian yang menelaah tentang tafsir-tafsir, khususnya tafsir tahlili bi al-ra’y dan tentang sosiologi ini dapat dilihat dari sumber rujukan yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan makalah ini, baik dari buku dan kitab yang memiliki literatur arab maupun indonesia. Beberapa diantaranya:1. Dalam bukunya Nashiruddin Baidan yang berjudul Metodologi Penafsiran Alquran diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta pada tahun 1998 mengatakan bahwa, metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
2. Berdasarkan Sejarah dan Metodologi Tafsir karya Ali Hasan al-Aridl yang diterbitkan oleh PT:RajaGrafindo Persada Jakarta pada tahun 1994, bahwa mufassir itu harus mengetahui kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat, yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, dan lain-lain sebagainya.
3. Berdasarkan Sosiologi Umum karya G. Kartasapoetra dan L.J.B Kreimers yang diterbitkan oleh Bina Aksara Jakarta pada tahun 1987, Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok.
4. August Comte dan Ibnu Khaldun merupakan perintis awal sosiologi. Ini terdapat dalam Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial karya Phil. Astrid S. Susanto diterbitkan oleh Binacipta pada tahun 1983.
F. Outline
KATA PENGANTARDAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Kajian Pustaka
F. Outline
BAB II METODE TAFSIR TAHLILI BI AL-RA’Y DAN SOSIOLOGI
A. Tahlili Bi al-Ra’y
B. Sosiologi
BAB III SOSIOLOGI DALAM SURAH AL-HUJURAT AYAT SEMBILAN
A. Ayat, Mufradat, dan Terjemah
B. Asbab Al-nuzul
C. Munasabah Ayat
D. Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat Sembilan
E. Kandungan ayat
F. Analisis
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
METODE TAHLILI BI AL-RA’Y DAN SOSIOLOGI
A. Tahlili Bi al-Ra’y
1. Pengertian TahliliYang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Untuk itu ia menguaraikan kosakata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, dan harus selalu merujuk kepada sebab-sebab turunya ayat, hadis-hadis Rasulullah SAW dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Para ulama’ membagi wujud tafsir Alquran dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yakni:1) Tafsir bi al-Ma’tsur.2) Tafsir bi al-Ra’yi. 3) Tafsir Shufy.4) Tafsir Fiqhy.5) Tafsir Falsafy.6) Tafsir ‘Ilmy. 7) Tafsir Adaby.
Dari beberapa macam-macam tafsir di atas, terdapat dua metode utama tafsir. Yaitu, tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-ra’y.
Metode tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari metode tafsir lainnya, ciri-ciri tersebut adalah:
a) Mufassir menafsirkan ayat per ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai dengan mushhaf.
b) Mufassir menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran secara komperhensif dan menyeluruh, baik dari segi i’rob, munasabah ayat atau surat, asbab nuzulnya maupun dari segi lain.
c) Dalam penafsiran seorang mufassir tahlili menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan pendekatan bi al-ma’tsur maupun bi al-ra’yi.
d) Bahasa yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai metode tafsir ijmali.
Dalam menggunakan metode penafsiran tahlili, terdapat langkah-langkah penafsiran yang pada umumnya digunakan, yaitu :
a) Menerangkan makki dan madani di awal surat.
b) Menerangkan munasabah.
c) Menjelaskan asba>b nuzu>l (jika ada).
d) Menerangkan arti mufradat (kosakata), termasuk di dalamnya kajian bahasa yang mencakup i’rab dan balaghah.
e) Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaznya.
f) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
g) Menjelaskan hukum yang dapat digali dariayat yang dibahas.
Segala sesuatu hal di dunia ini, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan metode tahlili ini. Di antara kelebihan metode tafsir tahlili ialah sebagai berikut;
a) Metode tahlili mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya: ma’tsur dan ra’y.
b) Di dalam tafsir analitis ini mufassir relatif mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran Alquran daripada tafsir yang metode ijmaly. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir analitis lebih pesat perkembangannya ketimbang tafsir ijmali.
Dan di antara kekurangan metode tahlili adalah sebagai berikut:
a) Menjadikan petunjuk Alquran parsial
Seperti halnya metode global, metode tahlili juga dapat membuat petunjuk Alquran bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Alquran memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
b) Melahirkan penafsiran subjektif
Metode tahlili memberikan peluang yang luas sekali kepada mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang menafsirkan Alquran sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Hal itu dimungkinkan karena metode tahlili membuka pintu untuk yang demikian.
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Alquran. Berkat metode ini, maka lahirlah karya-karya tafsir yang besar-besar, tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Namun di mana letak urgensi tersebut? Ini yang perlu dibahas.
Dalam penafsiran Alquran, jika ingin menjelaskan kandungan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqh, teologi, filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih berperan dan dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.
2. Pengertian tafsir bi al-ra’y
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka (kaum etologis menafsirkan dari sudut pandang teologis, seperti al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari, dan lain-lain). Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y.
Yang dinamakan dengan tafsir bi al-ra’y adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri juga berdasar pada pikiran-pikiran rasional (ijtihad) dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’y (pendapat) semata.
Ulama’ yang menempuh metode tafsir bi al-ra’y ini bersandar di antaranya pada firman Allah:
أفلا يتدبّرون القرآن أم علي قلوب أقفالها.
Maka tidaklah mereka menghayati Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?
Para ulama’ menegaskan, bahwa tafsir bi al-Ra’y ada yang dapat diterima dan ada pula yang batal dan ditolak. Tafsir bi al-Ra’y dapat diterima apabila mufassirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafadh-lafadh arab dan cara penunjukannya (dilalah) atas makna yang dikehendaki, sebab-sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar akidahnya dan menjadikan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran serta berangkat dengan tujuan yang benar. Ia juga harus berpegang pada apa yang diriwayatkan oelh Rasulullah dan menguasai ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, bayan, qira’ah, Ushul al-fiqh, ulum al-hadith, ushul al-din, dan ilmu al-mawhibah (ilmu yang Allah karuniakan kepada siapa saja dari hamba-hambaNya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya).
Selain harus memenuhi kualifikasi ilmiah seperti tersebut di atas, mufassir bi al-ra’y harus menghindari enam hal sebagai berikut :
a) Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b) Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
c) Menafsirkan dengan disertai dengan hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
d) Menafsirkan ayat-ayat dengan makna yang tidak dikandungnya (dimungkinkannya).
e) Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham madzhab tersebut. Seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-Asam, al-Juba’i, ‘Abdul Jabbar, al-Rummani, Zamakhsyari, dan lain-lain sebagainya.
f) Menafsirkan dengan disertai dengan memastikan, bahwa makna yang dikehendaki oleh Allah adalah makna demikian, dengan tanpa didukung oleh dalil.
Jadi, menafsirkan Alquran dengan ra’y (pendapat) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Seperti sabda Rasulullah SAW:
من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوّأ مقعده من النّار.
Barang siapa berkata (menafsirkan) Alquran semata-mata berdasarkan pendapatnya atau sesuatu yang tidak ia ketahui, maka bersegeralah ia menuju tempatnya di neraka.
Kemudian, al-Tabari menanggapi dengan menegaskan:
Mufassir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Alquran –yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia- adalah mufassir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya, karena penafsirannya disandarkan kepada Rasulullah, baik melalui penukilan paripurna (mustafid{) bila ada, penukilan oleh orang-orang yang teguh lagi terpercaya bila tidak terdapat penukilan paripurna, ataupun dengan dalil-dalil yang menjamin kesahihan penukilan tersebut. Selanjutnya, adalah mufassir paling sahih bukti dan argumentasinya, dalam hal yang diterjemahkan dan dijelaskannya, yaitu mufassir yang menafsirkan Alquran menurut kaidah-kaidah bahasa, baik dengan bertendensi pada syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dalam bahasa mereka yang sempurna dan terkenal. Ini berlaku bagi semua penta’wil dan mufassir selama penta’wilan dan penafsirannya tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf; sahabat dan para imam, serta tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabi’in dan ulama’ umat.
Di antara kitab-kitab tentang tafsir bi al-ra’y adalah :
a) Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafy.
b) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan Al-Baidhawy.
c) Lubab al-Ta’wil fy Ma’any al-Tanzil, karangan al-Khazin.
d) Ruh al-Ma’any fy Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’u al-Matsani, karangan al-Alusy.
e) Al-Tafsir al-Kabir “Mafatih al-Ghayb”, karangan al-Fakh al-razy.
3. Pengertian metode tahlili bi al-ra’y
Dari penjelasan-penjelasan di atas, diketahui bahwa tafsir tahlili bi al-ra’y adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu berdasar pada pikiran-pikiran rasional (ijtihad) dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’y (pendapat) semata.
B. Sosiologi
1. Pengertian-Pengertian DasarSosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor –faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
Sosiologi ialah ilmu tentang struktur yang stabil dan proses sosial. Juga dapat diartikan sebagai satu ilmu yang meneliti tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat/sosialnya.
Patirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang :
a. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama : keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala sosialdan gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan lain sebagainya);
c. Ciri-ciri umum daripada semua jenis gejala-gejala sosial.
2. Sejarah singkat
Banyak orang yang membahas dan membicarakan tentang sosiologi, sebagai ilmu ataupun dalam pembicaraan biasa. Sebagaimana halnya dengan ilmu politik yang banyak “dikuasai” orang, maka demikian pula halnya dengan sosiologi. Mengapa demikian. Suatu kenyataan, bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempunyai sebagai materi penelitinya: segala kejadian nyata dalam kehidupan manusia. Juga Plato dan Aristoteles telah membahas banyak hal yang merupakan sebagian dari sosiologi, hanya pembahasannya dilakukan dalam filsafat tentang masyarakat jamannya.
Dalam fase permulaan dari sosiologi, juga tidak dapat dielakkan bahwa sebagaimana suatu ilmu, ia berpangkal pada filsafat yang dikenal sebagai “Ibu Ilmu Pengetahuan”. Plato (429-374 SM) membahas unsur-unsur sosiologi dalam pembahasannya tentang negara; Aristoteles (384-322 SM) membahas unsur-unsur sosiologi dalam hubungan dengan etika sosial, yaitu bagaimana (seharusnya) tingkah-laku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia ataupun dalam kehidupan sosialnya.
Melalui Jean Bodin (1530-1596) yang memisahkan antara kehidupan politik, unsur sosiologi lebih menonjol lagi. Bodin membayangkan kehidupan sosial (mikro) sebagai kehidupan yang tenang dan damai, akan tetapi kehidupan politik (makro) sebaliknya penuh dengan perebutan kekuasaan. Dalam rangka ini dapat juga disebut nama dari Thomas Hobbes, John Locke serta Jean Jaques Rousseau yang ikut memberikan bentuk dan menunjukkan arah kepada ilmu yang kemudian dikenal sebagai sosiologi berdasarkan pikiran Kontrak Sosial mereka. Di dunia Arab terkenal nama dari Ibn Khaldun (1332-1406) yang memiliki pemikiran sosiologik lebih terperinci lagi dan sangat maju, sehingga ia sering disebut juga sebagai peletak batu pertama dari sosiologi, yaitu mendahului Auguste Comte (1789-1857). Sesudah itu Herbert Spencer lebih jelas lagi memberikan bentuk bahkan menggunakan nama sosiologi, yaitu dalam tulisannya Principles of Sociology.
Nama-nama seperti Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Karl Marx (Jerman), Vilfredo Pareto (Itali), Pitirim A. Sorokin (berasal dari Rusia), Max Weber (Jerman), Steinmetz (Belanda), Charles Horton Cooley (Amerika Serikat), Lester F. Ward (Amerika Serikat), dan lain sebagainya adalah beberapa nama-nama terkemuka dalam perkembangan sosiologi di benua Eropa dan Amerika. Dari Eropa, ilmu sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain, termasuk Indonesia.
3. Ciri-Ciri dan Hakikat sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri oleh karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah :
a. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebyt didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif
b. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil abservasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka daripada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.
c. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama.
d. Bersifat neo-ethis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Adapun sifat-sifat dan hakikat sosiologi adalah :
a. Sosiologi bersifat ensiklopedis. Artinya, ilmu tersebut lebih banyak menyoroti keseluruhan kehidupan sosial manusia dan sejarahnya.
b. Sosiologi termasuk disiplin ilmu kategori, bukan merupakan disiplin ilmu normatif karena sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi.
c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science), seperti ilmu kedokteran, farmasi, dan lain-lain sebagainya.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang konkrit. Artinya, bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, tetapi bukan wujud yang konkrit.
e. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum, dan mencari prinsip-prinsip, hukum-hukum umum dari interksi manusia, hakikat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat manusia. f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Ini menyangkut metode yang digunakan. g. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.
4. Kegunaan Sosiologi
Adapun kegunaan sosiologi antara lain :
a. Untuk pembangunan. Sosiologi berguna untuk memberikan data-data sosial yang diperluakan pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun penilaian pembangunan.
b. Untuk penelitian. Tanpa penelitian dan penyelidikan sosiologis tidak akan diperoleh perencanaan sosial yang efektif atau pemecahan masala-masalah sosial dengan baik.
5. Objek sosiologi
Seperti halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di masyarakat.
Phil Astrid S. Susanto membagi objek sosiologi menjadi dua bagian. Yakni objek materi dan objek formal. Objek materi dari sosiologi ialah kehidupan sosial manusia. Dan objek formal dari sosiologi adalah:1) pengertian terhadap lingkungan sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari.2) meningkatkan kehidupan masyarakat yang serasi.3) meningkatkan kerjasama antar manusia.
BAB III SOSIOLOGI DALAM SURAH AL-HUJURAT AYAT SEMBILAN
A. Ayat, Terjemah dan Mufradat
و إن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما علي الأخري فقاتلوا الّتي تبغي حتّي تفيئ إلي أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل و أقسطوا إنّ الله يحبّ المقسطين.Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah; jika ia telah kembali maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
و إن طائفتان من المؤمنين : أي جماعاتان قلّ أفرادهما أو كثروا من المسلمين.
(dua gerombolan kelompok dari orang-orang Islam baik itu banyak atau sedikit)
اقتتلوا فأصلحوا بينهما : أي هموا بالاقتتال أو باشروه فعلا فأصلحوا ما فسد بينهما.
(yang ricuh dengan pertikaian maka bersegeralah untuk mendamaikan ada yang rusak antara keduanya)
فإن بغت إحداهما علي الأخري : أي تعدت بعد المصلحة بأن رفضت ذلك و لم ترض بحكم الله.
(setelah ishlah kembali lagi dengan menentang atau menolak dan belum rela dengan ketentuan atauu hukum Allah)
فقاتلوا الّتي تبغي حتّي تفيئ إلي أمر الله : أي قاتلوا أيّها المؤمنون مجتمعين الطائفة التي بغت حتي ترجع إلي الحقّ.
(perangilah, wahai orang-orang yang beriman salah satu dari dua kelompok yang membangkang sampai ia kembali pada kebenaran )
فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل : أي رجعت إلي الحق بعد مقاتلتها فأصلحوا بينهما بالعدل أي بالحق.
(kembali pada kebenaran setelah peperangan, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, yakni dengan kebenaran)
و أقسطوا إنّ الله يحبّ المقسطين : أي و أعدلوا في حكمكم إن الله يحب أهل العدل.
(berlaku adillah dalam hukum kalian, sesungguhnya Allah menyukai ahli adil dalam bertindak)
Maka, seluruh lafadz tersebut dapat diartikan bahwa jika ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang mereka adalah orang-orang yang beriman bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu, sedang atau masih terus-menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga enggan menerima kebenaran atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima kebenaran; jika ia telah kembali kepada perintah Allah itu maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusanmu dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
B. Asba>b al-Nuzu>l
Surat ini merupakan surat yang ke-49, diturunkan di Madinah dan berjumlah 18 ayat.Dalam suatu riwayat Bukhari dari Anas dikemukakan, bahwa Nabi SAW pergi ke rumah Abdullah bin Ubay (munafiq) dengan mengendarai keledai. Dan orang-orang Islam juga brjalan bersama Nabi SAW. Abdullah bin Ubay berkata: “Enyahlah engkau dariku! Demi Allah aku terganggu dengan bau busuk keledaimu ini”. Berkatalah seorang Anshar: “Demi Allah, keledai Rasulullah lebih harum baunya daripada engkau”. Mendengar pernyataan ini, marahlah anak Abdullah bin Ubay kepadanya. Sehingga timbullah kemarahan antara kedua belah pihak dan terjadilah perkelahian dengan menggunakan pelepah korma, tangan dan sandal. Berkenaan dengan peristiwa ini, maka turunlah ayat sembilan yang memerintahkan untuk menghentikan peperangan dan menciptakan perdamaian.
Dalam riwayat lain mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa dua orang sahabat Anshar yang bersengketa tentang suatu urusan hak milik. Salah seorang dari mereka berkata bahwa ia akan mengambil haknya dari yang lain dengan paksaan. Ia mengancam demikian karena banyak pengikutnya, sedangkan yang satu lagi mengajak dia supaya minta keputusan kepada Nabi saw. Ia tetap menolak sehingga perkaranya hampir-hampir menimbulkan perkelahian dengan tangan dan terompah, meskipun tidak sampai menggunakan senjata tajam.
Dalam riwaayat lain pula dikemukakan, bahwa seorang laki-laki Anshar yang bernama Imran beristerikan Ummu Zaid. Istrinya bermaksud ziarah ke rumah keluarganya, akan tetapi dilarang oleh suaminya bahkan dikurung di atas loteng. Sang istri pun segera mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa ke rumah keluarganya. Sang suami meminta tolong kepada ahlinya. Maka datnglah anak-anak pamannya mengambil kembali wanita tersebut dari keluarganya. Dengan demikianlah terjadi perkelahian pukul-memukul dengan menggunakan sandal untuk memperebutkan wanita itu. Maka turunlah ayat: 9 ini yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Kemudian, Rasulullah mengirimkan utusan untuk mendamaikan perselisihan, dan tunduklah mereka kepada perintah Allah SWT.
C. Munasabah
Pada ayat-ayat sebelum ayat sembilan dari surat al-Hujurat lalu, Allah memberikan peringatan agar jangan mudah menerima berita dari orang fasiq tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu karena hal ini bisa menimbulkan korban dan penyesalan. Yakni ayat:يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبيّنوا.
Pada ayat-ayat berikut, Allah kembali menerangkan bahwa berita-berita itu mungkin membawa akibat yang buruk atau menyebabkan perpecahan dan permusuhan di antara dua golongan kaum Muslimin, bahkan dapat pula berakibat sampai menimbulkan peperangan.
D. Tafsir Surat al-Hujurat ayat sembilan
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat juga diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongna yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Untuk lebih detilnya, inilah tafsirannya.Dalam lafadz in (إن), ini merupakan pertanda bahwa pertikaian antara kelompok orang yang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Jika dikatakan, “kami melihat pertikaian merajalela antara kelompok tersebut?” maka jawaban yang tepat yakni Allah saja dalam ayat ini menyatakan dengan menggunakan lafadz in, berarti petanda bahwa pertikaian itu tidak terjadi kecuali hanya jarang. Tujuan dari bab ini (tentang in) ada dalam ayat ini adalah perintah itu berada pada perlawanan dari yang seharusnya ada. Seperti juga dalam kalimat (إن جاءكم فاسق بنبأ) adalah suatu pertanda bahwa datangnya seorang yang fasiq yang disertai dengan berita itu harus terjadi jarang, padahal datangnya fasiq dengan berita itu banyak. Dan perkatan fasiq dalam pernyataan yang pertama tadi lebih diterima daripada perkataan orang yang jujur lagi shalih.
Dalam lafadz (إن طائفتان) ini tidak dikatakan (إن فرقتان) hal ini sebagai penguat atas makna dari yang telah disebutkan tadi, yakni tanda sedikit. Artinya, kelompok yang dimaksud di sini itu tidak sebanya personal kelompok dari kata firqah. Karena personal kata firqah itu lebih banya dari pada personal kelompok yang ada pada kata t}aifah, seperti dalam firman Allah SWT :
فلولا نفر من كلّ فرقة منهم طائفة.
Dalam lafadz (من المؤمنين) ini tidak dikatakan minkum (منكم) yang marji’nya pada kalimat sebelumnya, yakni lafadz (يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ) dan antara keduanya memiliki satu makna. Hal ini sebagai peringatan bahwa pertikaian itu merupakan perbuatan yang jelek harus dihindari manusia.
Kemudian dalam kalimat (و إن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا) ini tidak dikatakan (و إن اقتتل طائفتان من المؤمنين), padahal lafadz in (إن) itu lebih utama bersambungan dengan kata kerja (fi’il). Hal ini adalah sebagai permulaan dari larangan pertikaian (peperangan), kemudian dikuatkan oleh lafadz nakirah yang juga menunjukkan tentang hal tersebut dengan menggunakan in (إن). Jelasnya, bahwa yang dilarang bertikai itu antara dua kelompok mukmin tersebut, maka didahulukan. Kemudian ditaukidi dengan isim nakirah yang berkorelasi dengannya, yakni kata in (إن). Semua itu disebabkan dua t}aifah (kelompok) tersebut sama-sama mukmin dan seharusnya peperangan tidak terjadi antara mereka berdua (dua kelompok tersebut). Tetapi kalau dalam lafadz yang terdapat dalam (يا أيّها الّذين أمنوا إن جاءكم فاسق) ini tidak dikatakan (يا أيّها الّذين أمنوا إن فاسق جاءكم) atau (إن أحد من الفاسق جاءكم). Hal ini karena jika didahulukan menimbulkan keambiguannya suatu perkataan. Yakni menjadi fasiq? Dikatakan kedatangan dengan berita yang bohong itu menyebabkan seseorang menjadi fasiq, atau bertambah fasiqnya karena adanya sebab-sebab, lalu kadatangannya tersebut itu menimbulkan fasiq maka kata datang (جاء) didahulukan. Adapun pertikaian (peperangan) itu tidak menjadikan bertambah atau kurangnya iman.
Lafadz (اقتتلوا) ini tidak menggunakan kata yang berbentuk tasniyah yang kembali pada lafadz (طائفتان). Ini dikarenakan lafadz t}aifah tersebut dikembalikan pada (طائفتان) yang berbentuk jama’ menurut maknanya. Dan lafadz (اقتتلوا) itu kembali ke lafadz (طائفتان) menurut bentuk tunggalnya. Seperti halnya lafadz (هذان خصمان اختصموا). Sedangkan dhomir yang ada pada lafadz (بينهما) ini kembali ke lafadz (طائفتان) menurut lafadznya.
Jumhur membaca iqtatalu (اقتتلوا) dengan dasar kata tunggal dari lafadz t}a>ifataini. Ibnu Abi ‘Ablah membaca (اقتتلتا) atas dasar dari kata yang kembali ke lafadz (طائفتان). Dan Zaid bin Ali dan ‘Ubaid bin ‘Umair membacanya (اقتتلا), mengingat kata dalam dua kelompok tersebut berbentuk muannas.
Di sisi lain, penggunaan penggunaan bentuk kata kerja masa lampau di sini, tidak juga harus dipahami dalam arti “telah melakukan” hal itu, tetapi hampir dalam arti “hampir melakukannya”. Ini serupa dengan ucapan pengumandang adzan: “Qad qa>mat al-shala>t” yang secara harfiyah berarti “salat telah dilaksanakan,” padahal saat ucapannya itu salat baru segera akan dilaksanakan. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan nampak di kalangan mereka. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkan api sebelum menjalar.
Kata (بغت) baghat terambil dari kata (بغى) bagha> yang pada mulanya berarti “berkehendak”. Tetapi kata ini berkembang maknanya sehingga ia biasa digunakan untuk kehendak yang bukan tempatnya, dan dari sini ia dipahami dalam arti “melampaui batas”. Pakar-pakar hokum Islam menamakan kegiatan kelompok yang melanggar hokum dan berusaha merebut kekuasaan dengan kata (بغى) baghy, sedang para pelakunya dinamai (بغاة) bugha>t.
Dalam kata (إن بغت) ini tidak dikatakan (إن تبغ) seperti penjelasan iqtatalu (اقتتلوا) yang tidak menggunakan kata mudhori, melainkan menggunakan kata lampau. Kata mudhari’ itu menunjukkan arti sedang dikerjakan dan terus-menerus. Jika digunakan kata mudhari’nya, maka secara tidak langsung, Allah menyruh manusia untuk sering-sering menganiaya. Tetapi, dalam ayat kata tersebut tidak menggunakan kata mudhari’, melainkan menggunakan kata lampau. Jadi, secara tidak langsung pula, Allah menyuruh manusia untuk tidak menganiaya sesama.
Kemudian, kata (فإن بغت إحداهما) ini juga merupakan pertanda jarang atau sedikit terjadi untuk yang kedua kalinya, seperti yang terdapat dalam lafadz (إن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا) tetapi dalam hal ini mengenai penganiayaan. Jika dikatakan bagaimana kebenaran mengenai penempatan ini, yang mana in tersebut ditempatkan pada kalimat syarat, yang nyatanya tidak terjadi. Penganiayaan itu biasa terjadi pada pertikaian (peperangan), jadi dapat difahami di sini bahwa salah satu dari orang yang bertikai tersebut tidak menerima untuk hal yang bagus (berdamai), dan kata in ini ada sebelum terjadinya sesuatu, maka dapat difahami bahwa pertikaian (peperangan) itu kejadiannya tidak terus menerus (jarang). Yakni seperti dugaan bahwa salah satu dari kedua kelompok tersebut adalah orang kafir, maka peperangan tersebut dihukumi wajib.
Kata (فإن بغت إحداهما), in di sini bukan in huruf syarat yang memerlukan kalimat jawab, melainkan in wiqayah (in yang berarti meskipun). Ini juga menunjukkan kejarangan terjadinya.
Dalam kata (حتّي تفيئ) ini menunukkan bahwa peperangan itu bukanlah suatu balasan atas penganiayaan, seperti had syurb yang dilaksanakan ketika seseorang meminum minuman keras dan jika tidak, maka seseorang tersebut tidak dikenai hukuman tersebut, tetapi hanya suatu batas akhir dari adanya penganiayaan. Jelasnya, segala penganiayaan jika bisa diatasi dengan jalan lain selain pertikaian (peperangan), sebaiknya menggunakan jalan tersebut. Dan jika sudah benar-benar tidak ada jalan lain selain peperangan, maka barulah jalan ini kemungkinan bisa ditempuh.
Tafi>’a ila> amr Alla>h artinya sehingga golongan itu telah kembali kepada perintah Allah. Kata Tafi>’a bentuk kata kerja sekarang dan kata kerja lampaunya adalah fa>’a, kata jadinya adalah al-fay’. Kalimat yang akar katanya ini berkisar paad arti “kembali”. Bayangan sesuatu pada sore juga disebut al-fay’ karena bayangan tersebut kembali dari arah barat menuju arah ke arah timur. Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa kata al-fay’ ditujukan kepada arti kembali kepada sesuatu yang terpuji sebagaimana pada surah al-Hujurat ini. Harta rampasan perang tanpa ada perlawanan dari musuh disebut juga al-fay’ karena harta adalah laksana bayang-bayang yang tidak abadi. Bisa juga karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin.
Adapun kata (إلي أمر الله) ini mengandung beberapa arti :
1) ketaatan pada Rasulullah dan pemerintah, seperti firman Allah:
أطيع الله وأطيع الرسول و أولى الأمر منكم. 2) perintah Allah, yakni pada kemaslahatan karena semua orang diperintahkan untuk hal tersebut, seperti firman Allah: فأصلحوا ذات بينكم.
3) Perintah Allah untuk bertaqwa. Karena sesungguhnya barang siapa yang takut kepada Allah dengan takut yang sesungguhnya, maka dia tidak memiliki musuh satupun kecuali setan. Seperti firman Allah: إنّ الشيطان لكم عدو فاتّخذوه عدوّا.
Kata (اصلحوا) ini terambil dari kata (اصلح) yang asalnya adalah(صلُح). Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada (فسد) yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluh{a berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang (إصلاح) adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Memang ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau agar ia dapat berfungsi dengan baik. Kursi misalnya, harus memiliki kaki yang sempurna, baru dapat berfungsi dengan baik dan dapat bermanfaat. Jika salah satu kaki kursi tersebut rusak, maka perlu dilakukan ishla>h{ atau perbaikan agar ia dapat berfungsi dengan baik secara bermanfaat sebagai kursi. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut adanya ishla>h{ yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan dengan demikian terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan.
Ayat di atas memerintahkan untuk ishlah sebanyak dua kali. Tetapi yang kedua dikaitkan dengan (بالعدل) dengan adil.ini bukan berarti bahwa perintah ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu ditekankan lebih keras lagi karena yang kedua telah didahului oelh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Dalam menindak itu, bisa jadi terhadap hal-hal yang bisa menyinggung perasaan atau bahkan mengganggu fisik yang melakukan ishlah itu, sehingga jika ia tidak berhati-hati dapat saja lahir ketidakadilan dari yang bersangkutan akibat gangguan yang dialaminya pada upaya ishlah yang pertama. Dari sini ayat di atas menyebut secara tegas perintah berlaku adil itu.
Kata (أقسط) berasal dari kalimat ruba’I yang hamzahnya menunjukka arti salb, yakni hilangkanlah ketidakadilan. Berbeda dengan qisth yang berasal dari kalimat yang berbangsa tiga huruf (tsulasi) yang searti dengan (جار).
Kata (المقسطين) terambil dari kata (قسط) qisht yang juga biasa diartikan adil. Sementara ulama’ mempersamakan makna dasar (قسط) dan (عدل), dan juga membedakannya dengan berkata bahwa al-qisth adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedang ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Dengan demikian win-win solution dapat merupakan salah satu bentuk dari qisth, Allah senang ditegakkannya keadilan walau itu mengakibatkan ketenggangan hubungan antara dua pihak yang berselisih, tetapi Dia lebih senang lagi jika kebenaran dapat dicapai sekaligus menciptakan hubungan harmonis antara pihak-pihak yang tadinya telah berselisih. Ayat di atas mengandung adanya peperangan terhadap orang yang menganiaya. Yakni mereka yang keluar dari kepemimpinan (tata cara) orang-orang Islam secara dholim dan memusuhi pada ketaatan Allah. Dalam ayat ini jelas sekali bahwa perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat juga diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongna yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan salah satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya maka dia hendak terus berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang mau berdamai yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini bisa dikatakan sebagai orang yang menganiaya. Maka orang yang hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai di aklah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu, barulah diperiksai dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah tangan. Sama sekali wajib dikembalikan kepada Allah.
Berdasarkan pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan, melainkan mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan oleh Sang Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.
E. Kandungan Ayat
Ayat ini mengandung suatu makna tentang konflik. konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.Konflik ini adalah salah satu masalah sosial yang nantinya dapat lari menjadi peprangan atau pertikaian. Suatu masalah sosial adalah suatu persoalan atau isyu sekitar suatu perkembangan, suatu kecenderungan, atausuatu situasi dalam peristiwa-peristiwa manusiawi yang berkaitan dengan sesuatu atau bebrapa kelompok. Hal itu berhadapan dengan suatu kesulitan sosial yang dapat dikatakan sangat meminta perhatian. Perhatian demikian mengambil bentuk diskusi, dan kemungkinan juga agitasi, penyelidikan, dan keputusan atau ketegasan. Yang kesemuanya dapat membimbing pada kegiatan atau tindakan korektif, pengimbangan atau penyesuaian. Seringnya terdapat perbedaan pada segi-segi pandangan sosial dan bahkan menimbulkan konflik pada sifat-sifat dari suatu masalah sosial atau mungkin pula pada masalah yang melingkup keseluruhan sosial.
F. Analisis
Pada ayat 9 surat al-Hujurat ini memerintahkan manusia apabila menemui dua kelompok, apalagi dua kelompok tersebut adalah orang mukmin yang saling berkelahi atas dasar alasan tersendiri, maka hendaklah menengahinya atau melakukan ishlah antara keduanya dengan tanpa memihak sisi yang sana dan sisi yang lain. Artinya, harus berlaku adil. Adil dalam permasalahan ini bisa dilakukan dengan penyelidikan untuk mencari kebenaran dan titik temu antara 2 kelompok yang bertikai tadi. Atau bisa juga dilakukan dengan musyawarah.BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa lembar makalah yang kami sajikan, selayaknya terdapat beberapa benang merah yang dapat diambil. Maka di sini disimpulkan:1. Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
2. Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat, yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor –faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
3. Dalam ayat 9 dari surat al-Hujurat ini jelas sekali bahwa perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat juga diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongna yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan salah satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya maka dia hendak terus berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang mau berdamai yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini bisa dikatakan sebagai orang yang menganiaya. Maka orang yang hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai di aklah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu, barulah diperiksai dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah tangan. Samasekali wajib dikembalikan kepada Allah.
B. Saran
1. Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini, penulis berharap akan adanya pengkajian lebih lanjut tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran terutama yang berkaitan dengan judul makalah ini.2. Dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan ilmu dan dapat memepertebal keimanan serta menjalankan segala apapun yang diperintahkan oleh Allah karena Dia adalah satu-satunya dzat yang layak disembah dan dimintai pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan
terjemahnya
Alquran Karim
Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir,
cetakan kedua Jakarta: PT:RajaGrafindo Persada
AS, Mudzakir. 2012. Studi Ilmu-Ilmu Alquran. cetakan ke-15. Surabaya:
PT. Pustaka Litera AntarNusa
Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
cetakan pertama Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Baidhowi, Al-Imam Al-Qadhi
Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-Syairazy. Tt. Tafsir Al-Baidhowy. Lebanon: Dar Al-Fikr
Din, Imam Muhammad al-Razy Fakhr. 1990. Mafatih al-Ghaib. Beirut,
Lebanon: DKI
Hamka. 2003. Tafsir
al-Azhar. cetakan keempat. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2320777-pengertian-sosial/, rabu, 23 Oktober 2013, 0:43
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, Ahad, 20 oktober 2013, 21:53
http://muhammadrizalhsb.blogspot.com/2012/03/metode-tafsir-tahlili.html Rabu, 23 Oktober 2013, 0:20
Jaza>iry,
Abi Bakr Ja>bir. 1994. Aysar
al-Tafa>sir. cetakan
pertama. Madinah: Maktabah ulum wa al-hikmah
Kartasapoetra, G. dan Kreimers, L.J.B. 1987. Sosiologi Umum.
cetakan pertama. Jakarta: Bina Aksara
Mahali, A. Mudjab. 2002. Asbabun
Nuzul. cetakan pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Qasimy, Muhammad
Jamaluddin. 2005. Maha>si>n al- ta’wi>l. juz 9. cetakan
pertama. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr
RI, Kementrian
Agama. 2011. Alquran dan Tafsirnya. jilid 9. tt: Widya Cahaya
Sabu>ni, Muhammad Ali >. 1999. Rawa>’I`
al-baya>n. cetakan pertama. Beirut,
Lebanon: DKI
Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi.
cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Kencana
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:
Lentera Hati
Shihab, Quraish.
1998. Wawasan Alquran. cetakan ketujuh. Bandung: Mizan
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. cetakan
ketiga. Jakarta: Rajawali Pres
Susanto, Phil. Astrid S. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan
Sosial. cetakan keempat. tt: Binacipta
Syaukani, Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. 1994. Fath
al-Qadi>r. cetakan pertama.
juz 1. Beirut, Lebanon: DKI
0 komentar:
Posting Komentar
thank's