contoh makalahnya bisa dilihat di sini
A.
Ayat, Terjemah, dan Mufradat
Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah yang
kami minta pertolongan.
Maka,
seluruh lafadz tersebut bisa diartikan sebagai
Yakni, kami beribadah kepadaMu, seperti mentauhidkan/mengesakan dan
lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepadaMu dalam menghadapi
semua hambaMu dan lain-lainnya.[6]
B.
Asbab Al-Nuzul dari Surat Al-Fatihah
Bukan tanpa alasan jika surat ini dinamakan fa>tihat
al-kita>b (pembuka
Alquran), karena kenyataannya Allah menempatkannya sebagai surat yang mengawali
seluruh rangkaian firmanNya dalam Alquran. Dan penempatan itu pasti bukan
sekedar penempatan. Ada aspek keagungan di dalamnya. Bukan anpa alasan jika
surat ini disebut Umm al-kita>b (induk Alquran), Al-S{ala>t (bacaan yang menjadi syarat sah salat), Al-Shifa>’ (obat), Al-Sab’u Al-Mathani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), Al-Ruqyah (sebagai jampi-jampi),dan nama lain yang menyiratkan keistimewaan.[7]
Para ulama berselisih pendapat mengenai letak turunnya surat ini.
Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Makkah dan
termasuk sebagian dari ayat Alquran yang diturunkan di awal-awal penurunan
Alquran.[8]
Pendapat ini diperkuat oleh beberapa hadis, yakni[9]:
1.
Dari Abu Utsman Said bin Muhammad bin Ahmad Al-Zahid dari Judy dari
Abu Amrun Al-Hiry dari Ibrahim bin Harits dan Ali bin Sahal bin Mughirah,
keduanya berkata: kami diberitahu oleh Yahya bin (Abi) Bakir, dari Israil Abi
Ishaq dari Abi Maisaroh bahwa Rasulullah SAW keluar, Ia mendengar suatu
panggilan yang memanggilnya: hai Muhammad, jika kau mendengar suatu suara, maka
berpergilah sambil berlarian, kemudian Waraqah bin Naufal berkata kepadanya:
ketika kau mendengarkan suara, maka tetaplah sampai kau mendengarkan apa yang
dikatakan untukmu. Lalu berkata: ketika ia keluar, ia mendengar suara: wahai
Muhammad. Lalu ia menjawab: labbaik. Lalu suaa itu berkata lagi:
katakanlah Ashhadu an la> ila>ha illa Allah wa ashhadu
an la> muhammadan rasu>l Allah. Kemudian berkata
lagi: katakanlah alh{amdu li Allahi rabbi al-‘a>lami>n *
Al-rah{ma>ni al-rah{i>m * ma>liki yaumi al-di>n (hingga akhir surat fatihah).
2.
Dari Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Al-Mufassir dari Al-Hasan bin
Ja’far Al-mufassir, berkata: kami diberitahu oleh Abu Al-Hasan bin Muhammad bin
Mahmud Al-Mawarziyyi, dari Abdullah bin Mahmud Al-Sa’diy dari Abu Yahya
Al-Qashriy, dari Marwan bin Muawiyah, dari Ala’ bin Musayyab dari Al-Fudhail
bin Amrun dari Ali bin Abi Thalib berkata: pembuka Alquran itu turun di Makkah
dari kanz di bawah ‘Arsy.[11]
3.
Ibnu al-anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerima riwayat dari
Ubadah bin ash-Shamit bahwa surat Fa>tihat al-kita>b ini memang diturunkan di Mekkah.[12]
Pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fatihah diturunkan di
madinah itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
kitab Mushannaf dan oleh Abu Sai’d bin Al-A’rabi dalam kitab Mu’jamnya
dan oleh Ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dari sanad mujahid yang
diterima oleh sahabat Abi Hurairah, isi hadisnya yakni: iblis telah dipenjara
tatkala Fa>tihat al-kita>b diturunkan, surat ini diturunkan di Madinah.[13]
Tetapi, entah karena sengaja hendak mengumpulkan dua pendapat, ada
pula segolongan yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan dua kali, pertama di
Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.[14]
Tetapi, menjadi kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila
diingat bahwa sembahyang lima waktu mulai difardhukan ialah sejak di Mekkah,[15] sedang tidak masuk akallah jika Nabi saw salat selama di Mekkah
tanpa surat ini.[16]
C.
TAFSIR SURAT AL-FATIHAH AYAT LIMA
Pada empat ayat
pertama sebelum ayat ini terasa sekali nuansa pujian dan sanjungan kepada Allah
sangat kental. Kecuali itu Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan kasih sayangNya yang demikian besar itulah Dia mengatur,
mengayomi, dan mendidik alam semesta ini dengan segala isinya,[17]
sambil mengundang hambaNya untuk mendekatkan diri kepadNya, karena Dia adalah al-rah{ma>n
dan al-rah{i>m dan Dia adalah
Raja dan Penguasa Tunggal, khususnya pada hari Pembalasan, maka tidak heran
jika hamba-hambaNya yang memahami dan menyadari hal itu, datang mendekat dan
memohon kepadaNya.[18]
Dengan prolog
itu, manusia diantar pada ayat ke-5 ini yang berisi statemen tulus dari seorang
hamba kepada Tuhannya yang menegaskan bahwa dia hanya menyembah keadaNya dan
minta tolong juga kepadaNya sendiri; tidak kepada yang lain dariNya.[19]
Untuk lebih jelas inilah tafsirannya.
(نعبد
إيّاك) dalam lafadz ini terjadi iltifat (iltifat
yakni perpindahan dari bentuk takallum ke bentuk ghoib atau khitob atau
sebaliknya, yakni dari bentuk ghoib ke bentuk takallum atau khitob, atau dari
bentuk khitob ke bentuk ghoib atau takallum[20]),
dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam
kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Dalam iltifat ini adalah salah satu
macam metode Ilmu Balaghah. Kalau mengikuti kalimat sebelumnya tentu berbunyi “iyya>hu
na’budu” (kepadaNya
kami menyembah), tetapi kemudian dialihkan dari dhamir ghaibah ke dhamir
mukhatab karena untuk maksud menggunakan metode iltifat.[21]
Hal ini untuk menarik perhatian pehatian pendengar agar memerdulikan
pembicaraan, tujuan ini akrab disebut dengan iltifat.[22]
Di samping itu,
iltifat tersebut juga bertujuan untuk mengkhususkan (ikhtishos), bahwa seorang
hamba hanya menyembah kepadaNya, tidak kepada yang lain.[23]
Ibadah yang dilakukan tidak kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Jika
demikian pandangan hati sepenuhnya hanya kepadaNya dan dengan demikian, untuk
kedua kalinya muncul hakikat pengawasan yang menjadi tema utama surat
Al-Fatihah. Ini diperkuat oleh kata ibadah yang intinya adalah penyerahan diri
secara penuh kepada Allah.[24]
Na’budu dan nasta’i>nu ini menggunakan kata jama’, tidak menggunakan kata a’budu atau asta’i>nu. Ini menyimpan beberapa hikmah. Diantaranya:
1.
Nun tersebut bertujuan untuk pernyataan halus, yakni pengakuan
seorang hamba dengan segala kerendahannya kepada Rajanya segala raja yang Maha
Agung dan Maha Tinggi, dan memohon pertolongan (isti’anah) dan hidayah
dengan sendirian tanpa orang lain, ini seakan-akan ia berkata, “wahai Tuhan,
saya hamba yang hina dina dan saya tidak patut untuk berdiri di tempat ini
dalam bermunajat kepadaMu dengan diriku sendiri, tetapi saya menyatukan diri
bersama ahli tauhid, kemudian saya berdoa bersama mereka dan kami semua
menyembahMu dan beristianah kepadaMu.[25]
2.
Nun tersebut juga bertujuan sebagai peringatan bahwa salat secara
berjamaah itu lebih utama. Sebagaimana hadis Nabi:
التّكبيرة
الأولى في صلاة الجماعة خير من الدّنيا و ما فيها
Yakni, takbir pertama dalam salat berjamaah lebih baik daripada
bumi dan seisinya.[26]
3.
Maksud dari jama’ tersebut adalah aku menyembahMu dan para malaikat
bersamaku. Bukan atas nama semua yang hadir, melainkan semua hamba-hambaMu yang
shalih.[27]
4.
Semua orang mukin adalah saudara. Maka seakan-akan Allah berkata: “untuk
apa kau memujiku dengan perkataanmu (. الرّحمن
الرحيم العالمين ربّ
لله الحمد.) maka meninggilah derajatmu di hadapan kami, maka jangan
meringkas pembenahan keadaanmu, tetapi kamu harus berusaha untuk membenahi
keadaan semua saudara-saudaramu, maka katakanlah (إيّــــاك
نعبد و إيّــــاك نستعيـن)[28]
Frase na’budu
juga mengandung makna spesifik yang berbeda dari kosakata lainnya yang seakar
dengannya seperti ‘abadna> (عبدنا),
kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Ungkapan ini berkonotasi “kami
sudah mengabdi”. Perbedaan maksan tersebut dikarenakan bedanya dua bentuk
kosakata itu. Yang satu menginformasikan peristiwa yang terjadi di masa lampau
(madhi) dan yang lain menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di masa
sekarang (fi’il mudhari’). Dapat digunakannya kata kerja masa sekarang
untuk menyatakan pengabdian kepada Allah, maka berarti pengabdian tersebut
berlangsung secara terus-menerus secara berkesinambungan. Seandainya yang
digunakan adalah kata kerja masa lampau (‘abadna>), maka ungkapan untuk menginformasikan bahwa pengabdian yang
dilakukan tersebut sudah berlalu; boleh jadi sekarang tidak mengabdi lagi.[29]
(و إيّــــاك نستعيـن), paruh kedua dari ayat ke-5 ini pemahamannya
tidak jauh dari yang pertama, yakni sama-sama menegaskan ketulusan mengabdi
semata-mata kepada Allah, sedangkan yang kedua menegaskan ketulusan minta
pertolongan juga semata-mata dari Allah, tidak dari yang lain. Mengingat
kondisi yang demikian maka frase ‘إيّــــاك’ tidak perlu diulang lagi karena konotasinya
sama dengan yang telah diuraikan pada
paragraf yang lalu itu[30] (penggunaan iltifat dan penggunaan fiil
mudhari’).
Huruf wawu yang
terletak sebelum iyya>ka yang kedua adalah wawu ‘athof, yakni menunjukkan kesatuan (musytarok)
dalam i’rob dan ma’na dengan lafadz yang sebelumnya.[31]
Adapun sin dari lafadz nasta’i>n adalah sin dari wazan istaf’ala (إستفعل) yang berfaedah untuk permintaan (li al t{alab). Maksudnya, seorang hamba meminta pertolongan kepadaNya atas
ibadah.[32]
Dalam ayat ini
lafadz na’budu lebih didahulukan daripada lafadz nasta’i>n serta mengulangi lafadz iyya>ka. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah, karena itu ia
lebih wajar didahulukan dari pada meminta pertolonganNya. Bukankah sebaiknya
Anda mendekat sebelum meminta? Di sisi lain ibadah dilakukan oleh orang yang
bermohon sedang meminta bantuan adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta.
Memulai dengan upaya yang dilakukan sendiri, lebih wajar didahulukan daripada
upaya dengan meminta bantuan pihak lain. Selanjutnya salah satu hal yang
diharapkan bantuanNya adalah menyangkut ibadah itu sendiri, sehingga menjadi
sangat wajar menyebut ibadah terlebih dahulu yang merupakan azam dan kebulatan
tekad si pemohon baru kemudian memohon agar dibantu antara lain dalam meraih
kesempurnaan ibadah dimaksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi,
adalah lebih tepat menyebut nasta’in sebagai akhir ayat agar iramanya
sama atau mirip dengan ayat sebelum dan sesudahnya.[33]
Selain itu,
alasan mendahulukan lafadz na’budu dan mengakhirkan lafadz nasta’i>n adalah karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia
terhadap TuhanNya. Tetapi, pertolongan dari Allah kepada hambaNya adalah hak
hamba itu. Maka Allah mengajarkan hambaNya agar menunaikan kewajibannya
terlebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.[34]
Pengulangan
kata iyya>ka perlu, karena iyya>ka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti penghususan mutlak.
Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan apapun selain Allah,
karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan muncul unsur pamer atau
riya’. Sedang dalam meminta bantuan, memang tidak ada salahnya meminta pula
bantuan kepada selain Allah dalam hal-hal yang termasuk hukum sebab-akibat (segala
sesuatu yang etrjadi dan memiliki alasan mengapa terjadi). Bukankah Allah
memerintahkan kita untuk saling tolong menolong? Tetapi harus disadari bahwa
pada hakikatnya bantuan yang diharapkan itu tidak dapat terwujud tanpa izin dan
restu Allah.[35]
Orang yang
mengetahui bahasa arab sesempurna-sempurnanya, sehingga dapat merasakan “al-dhauq
al-‘araby” yaitu satu
macam “rasa” yang hanya terdapat dalam bahasa dan kesusatraan arab saja, akan
dapatlah merasakan kuat, kokoh, tegas dan indahnya susunan sastra bahasa yang
mendahulukan kata-kata iyya>ka sebelum kata-kata na’budu dan nasta’i>n, dan berulang dua kali kata-kata iyya>ka itu, satu sebelum na’budu dan satu lagi sebelum nasta’i>n lalu dibatasi antara keduanya dengan kata penghubung dan yaitu wa.[36]
Jika pembaca merasa-rasakan
susunan ayat yang berulang-ulang ini. Iyya>ka na’budu, yang artinya hanya Engkaulah yang kami sembah dan iyya>ka nasta’i>n, yang artinya hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan. Dan
jika pembaca membaca susunan yang biasa, “kami sembah Engkau dan kami meminta
tolong kepada Engkau.” Pada susunan yang pertama, dapat dimengerti bahwa
penyembahan itu tidak kepada yang lain kecuali hanya Engkau. Namun pada susunan
yang kedua, bisa jadi pembaca mengartikannya menjadi, selain menyembah yang
lain, kami juga menyembah Engkau.[37]
Berdasarkan
pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan
penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan, melainkan
mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan oleh Sang
Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.[38]
D.
Isi Kandungan Syari’ah Dalam Surat Al-Fatihah Ayat Lima
Setelah seorang
hamba menyanjung dengan sifat yang paling indah, ia –sebagaimana yang diajarkan
Allah SWT- melanjutkannya dengan memohon sesuatu paling baik yang memang
seharusnya dipintakan kepada Rabb Maha Agung yang memiliki sifat mulia
ini. Yang sifat tersebut tak ada yang menandinginya.[39]
Kemudian seorang
hamba menghadap kepadaNya dengan beribadah dan memohon agar diberi pertolongan
dalam menjalankan ibadah tersebut. Ini merupakan tawassul dengan ubudiyyah
(menghambakan diri) dan tauhid, setelah ber-tawassul dengan
nama-nama dan sifat mulia Allah SWT yang Maha Tinggi dan Terpuji. Dengan kedua tawasssul
ini (tawassul dengan Asma’ul Husna dan tawassul
dengan ibadah) hampir doa seorang hamba tidak mungkin ditolak.[40]
Ayat ini
terbagi dua, seperdua pertama untuk Allah (kewajiban hamba kepada Tuhannya),
dan seperdua kedua untuk Hamba Allah (hak seorang hamba dari Tuhannya), Iyya>ka
na’budu untuk Allah, Iyya>ka
nasta’i>n untuk Hamba
Allah.[41]
Jadi ayat ini mengandung dua persoalan pokok yaitu soal ibadat dan soal minta
pertolongan (doa). Soal agama seluruhnya tersimpul di dalam kedua persoalan
pokok ini, yaitu IBADAT dan DOA.[42]
1.
Ibadah
Ibadah berarti mentaati dengan perasaan rendah dalam mengabdi,
hamba yang patuh dengan tunduk. Sedangkan menurut istilah syara’, ibadah
merupakan suatu sikap yang menghimpun rasa kecintaan, ketundukan, dan takut.[43]
Menurut Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya juga menjelaskan
bahwa ibadah adalah menghambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan.
Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita HambaNya, budakNya.
Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadah
kepadaNya disertai oelh raja’, yaitu pengharapan akan kasih dan
sayangNya, cinta yang hakiki dan tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun
kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia.[44]
Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Sikap beragama
secara keseluruhan berpangkal dari makna kedua kalimat ini, sehingga
ulama-ulama dahulu mengatakan, bahwa rahasia Alquran ada di dalam surat
Al-Fatihah dan rahasia surat Al-Fatihah ada di dalam kedua kalimat ini. Sebab,
kalimat yang pertama menunjukkan makna bebas dari syirik, sementara yang kedua
bebas dari daya dan kekuatan serta menyerah bulat-bulat kepada Allah.
Pengertian yang sama juga terdapat dalam firman Allah[45]:
واعبده و توكّل عليه. (هود: 123)
“maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali
Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan.”
Imam Ja’far ash-Shadiq –sebagaimana dikutip oleh Muhammad
al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al-Iman mengemukakan tiga unsur pokok
yang merupakan hakikat ibadah.1) si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada
dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak
memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah milik tuannya.2) segala
usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi.3) tidak
memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengkaitkannya dengan izin dan
restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.[46]
Ketika seseorang menyatakan iyya>ka
na’budu maka ketika
itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang maupun yang berkaitan
dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas
manusia harus berakhir menjadi ibadah kepadaNya sedang puncak adalah ihsan.[47]
Perlu diingat bahwa ibadah atau pengabdian yang dimaksud dalam ayat
kelima ini tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam
(fiqh) yakni salat, puasa, zakat dan haji, tetapi, mencakup segala macam
aktivitas manusia, baik pasif maupun aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak
dan langkah itu adalah Allah, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang
diajarkan Allah dalam surat Al-An’am ayat 162[48]:
إنّ صلاتي و نسكي و محياي و مماتي لله
ربّ العالمين
“sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan
matiku (kesemuanya), demi karena Allah pemelihara seluruh alam.”
Ibadah dinamakan “ibadah” bila terhimpun dua pokok di dalamnya,
yaitu cinta (hubb) dan tunduk (khudhu’). Orang yang hanya cinta
saja, tetapi tidak tunduk atau tunduk saja tetapi tidak cinta, maka tidaklah
dinamai beribadah. Cinta dan tunduk itu ditunjukkan hanya kepada satu dzat
yaitu Allah saja. Inilah yang dinamakan “tauhid.”[49]
Mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah,
dinamai Tauhid uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk dimohoni
pertolongan sebagai robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.[50]
Untuk misal yang mudah tentang tahid uluhiyah dan tauhid rububiyah
ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman dilepaskan dari satu
kesulitan. Tentu kita mengucapkan terimakasih kepadanya. Adakah pantas kalau
kita ditolong misalnya oleh Ahmad, lalu kita mengucapkan terimakasih kepada si
Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam
ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah orang itu musyrik.
Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat dari Allah mengucapkan terima
kasih kepada berhala.[51]
Tauhid yang dianut agama Islam harus meliputi tauhid rububiyah dan
tauhid uluhiyah. Di samping percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan
segala-galanyaini, juga percaya bahwa hanya Allah sajalah yang patut disembah
dan dimintai pertolongan.[52]
Ibadah tidak akan dinamai ibadah bila tidak memenuhi dua syarat,
yaitu[53]:
1)
Ibadah itu harus karena Allah dan untuk Allah semata.
2)
Cara-caranya beribadah harus seratus persen seperti apa yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Bila suatu
ibadah dilakukan tidak ikhlas untuk Allah, atau tidak sepanjang apa yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Maka tidaklah dapat dinamai ibadah lagi, tetapi
boleh dinamai gerak badan atau latihan biasa, atau namakanlah olahraga atau
taiso dan lain-lain.[54]
2.
Meminta pertolongan kepada Allah (isti’a>nah)
Isti’a>nah atau memohon pertolongan kepada sesama makhluk maknanya adalah
meminta (kepada orang lain agar diberi) kemudahan dan pertolongan pada suatu
pekerjaan yang sulit dilaksanakan oleh seseorang.[55]
Tetapi isti’a>nah (memohon pertolongan) yang disebutkan dalam ayat ini adalah, isti’a>nah yang terjadi antara makhluk dengan Sang Khaliq. Sebab seorang
hamba tidak mempunyai kemampuan secara independen yang bisa menyampaikan
kehendaknya tanpa ada pertolongan dari Allah SWT. Karena kehendak seorang hamba
selalu mengikut dan tidak terlaksana kecuali jika sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Kehendak Allah SWT inilah yang menguasai dan meliputi segalanya.[56]
Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia
mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya
sendiri. Para ulama mendefinisikan sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya
menjadi sempurna atau mudah mencapai apa yang diharapkan.”[57]
isti’a>nah atau berdoa harus pula menghimpun dua pokok yaitu berserah diri (thiqah)
dan menggantungkan harapan (i’timad) sebulat-bulatnya kepada Allah.
Tidaklah dinamakan berdoa atau isti’a>nah kepada Allah, bila seorang tidak memercayakan diri atau berserah
diri bulat-bulat kepada Allah, lalu menggantungkan nasib atau harapan seratus
persen kepada Allah saja.[58]
Kalimat ibadah juga termasuk kandungan isti’anah di dalamnya,
sedang dalam kalimat isti’a>nah tidak terkandung ibadah di dalamnya. Jadi, ibadah lebih umum.
Orang yang benar-benar beribadah, pasti didampingi dengan permohonan
(isti’anah), tetapi belum tentu seorang yang bermohon kepada Allah, juga
menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan Allah. Berapa banyaknya
orang-orang yang menginginkan sehat, kekayaan, dan lain-lain bermohon dan
berdoa kepada Allah, tetapi mereka tidak beribadah menyembah Allah.[59]
Sekalipun demikian, isti’anah tetap menjadi bagian atau sebagian
dari ibadah. Beribadah berarti menjalankan sesuatu untuk Allah, sedang bermohon
ialah mengharapkan sesuatu dari Allah. Jadi, ibadah jauh lebih tinggi dan lebih
suci dari isti’anah. Sebab ibadah tidak dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar ikhlas dan iman, sedang isti’anah dapat saja dilakukan oleh
orang-orang yang tak ikhlas imannya. Malah kadang-kadang dilakukan oleh
orang-orang yang fasiq atau bajingan-bajingan besar.[60]
Ibadah juga berarti mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah
kepada seseorang. Sedang isti’anah ialah mengharapkan nikmat atau rahmat dari
Allah.[61]
Kedua pokok ini dicakup oleh satu kata saja yaitu tawakkal. Dan
tawakkal inilah yang menjadi hakikat atau pengertian yang sebenar-benarnya dan
sedalam-dalamnya dari ayat iyya>ka na’budu wa iyya>ka
nasta’i>n.[62]
E.
Munasabah Ayat
Pada surat Al—Fa>tihah ayat lima yang berbunyi:
إيّــــاك
نعبد و إيّــــاك نستعيـن
Dari ayat ini, diketahui jelas bahwa persembahan, ibadah, serta
meminta pertolongan itu tiada lain kecuali kepada Allah. Karena, Dia sendiri
tidak bersekutu dalam mengkonsep dan mengatur segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini. Hal ini terdapat korelasi dengan Surat Al—Fa>tihah
ayat kedua[63] yang berbunyi:
الحمد
لله ربّ العالمين
Dalam ayat ini, lafadz ila>h lebih didahulukan dari pada lafadz rabb, ini merupakan
pernyataan bahwa hanya Allahlah yang patut dipji, karena Dia telah memelihara
alam semesta.[64] Karena, rabb disitu hanya sebagai keterangan yang bersifat na’at.[65]
Dengan demikian, menjadikan Allah sebagai dzat satu-satunya yang
disembah dan dimintai pertolongan karena Allah adalah penguasa seluruh alam.[66]
F.
Analisis
Dalam surat Al—Fa>tihah ayat lima ini memberikan kita pengertian, bahwa Allah lah dzat yang
layak dan patut di sembah, Dialah yang agung dan berhak dimintai pertolongan,
tiada lain selain dia. Karena Dialah Tuhan manusia yang memberikan banyak
nikmat dan telah menciptakan segalanya. Dan meminta tolong pada selain Dia
berarti telah menyekutukannya (syirik).
[1]Alquran karim
[2]Abi Bakar Jabir
Al-Jarairy, Aysar Al-Tafaasiri, (Madinah Munawwarah: Maktabah Al-Ulum
wa Al-Hikam, 1994) 14
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad Al-Mahaaly dan Jalaluddin Muhammad Abdurrahman bin Abi Bakar
Ash-Shuyuthi, Tafsiir Jalaalyn, (Beirut Lebanon: DKI, tt) th
[6]Imam Jalaluddin
Al-Mahally dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi, Tafsir Jalalain, cetakan 9,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 2
[7]Abdul Hakim bin
Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fatihah, Cetakan Kedua (Surabaya:
eLBA, 1429 H), 5
[8]Al-imam Abi
Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut,
Lebanon: DKI, tt), 21
[9]Ibid, 21-22
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 80
[13]Ibid, 43
[14]Ibid, 81
[15]Ibid, 81
[16]Al-imam Abi
Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut,
Lebanon: DKI, tt), 23
[17]Prof.
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fatihah, cetakan pertama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71
[18] Shihab, Tafsir
Almisbah.., 49
[19] Baidan, Tafsir
Kontemporer .., 71
[20]M. Sholihuddin
Shofwan, Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun, cetakan pertama,
(Jombang: Darul Hikmah, 2007), 162
[21]H. Muammal
Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemah Ayat ahkam Ash-Shobuni, cetakan
keempat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 7
[22]Al-Syekh
Muhammad Ali Al-Shobuny, Rawai’ Al-Bayan, juz 1 (Beirut Lebanon: DKI,
1999), 29
[23]Al-Imam
Al-Qadhi Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-Syairazy
Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt) 63
[24] Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 52
[25] Al-Shobuny, Rawai’
Al-Bayan.., 29
[26]Nidzom Al-Din
Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy Al-Naisabury, Tafsir Gharaib Alquran
wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama (Beirut Lebanon: DKI, tt), 104
[27]Ibid
[28]Ibid, 104-105
[29]Baidan, Tafsir
Kontemporer ..,75
[30]Ibid, 76
[31]Al-Mufassir Abi
Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Al-Dimasyq Al-Hanbaly, Al-Lubab Fii ‘Ulum
Al-Kitab, juz 1 (Beirut, Lebanon: DKI, 1971), 200
[32]Ibid
[33]Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 62
[34]Kementrian
Agama RI,Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), 19
[35] Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 62-63
[36]H. Bey Arifin, Samudera
Al-Fatihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972), 213
[37]Ibid
[38] Baidan, Tafsir
Kontemporer .., 75
[39]Al-Qasim, Misteri
Surat.., 80
[40]Ibid, 81
[41] Arifin, Samudera
Al-Fatihah.., 209
[42] Ibid, 210
[43] H. Salim
Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002), 28
[44] Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103
[45] H. Salim
Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat .., 28
[46] Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 53
[47]Ibid
[48]Ibid, 55
[49]Arifin, Samudera
Al-Fatihah.., 210
[50]Hamka, Tafsir
Al-Azhar.., 102
[51]Ibid
[52]Arifin, Samudera
Al-Fatihah.., 210
[53]Ibid, 219
[54]Ibid
[55] Al-Qasim, Misteri
Surat.., 105
[56]Ibid
[57]Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 58
[58]Arifin, Samudera
Al-Fatihah.., 211
[59]Ibid, 212
[60]Ibid, 212
[61]Ibid
[62]Ibid
[63]Arifin, Samudera
Al-Fatihah.., 211
[64]Hamka, Tafsir
Al-Azhar.., 103
[65]Baidan, Tafsir
Kontemporer .., 47
[66]Shihab, Tafsir
Al-Misbah.., 56
0 komentar:
Posting Komentar
thank's