senja pagi. Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 10 November 2013

Kandungan Syariah Dalam Surat AL-Fatihah Ayat Lima

contoh makalahnya bisa dilihat di sini



A.  Ayat, Terjemah, dan Mufradat
إيّــــاك نعبد و إيّــــاك نستعيـن.[1]
Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah yang kami minta pertolongan.
إيّاك      : ضمير نصب يخاطب به الواحد.[2]
نعبد     : نطيع مع غاية الذّلّ لك و التّعظيم و الحبّ.[3]
نستعين  : نطلب عونك لك علي طاعتك.[4]
Maka, seluruh lafadz tersebut bisa diartikan sebagai
نخصّك بالعبادة من توحيد و غيره و نطلب المعونة علي العبادة و غيرها.[5]
Yakni, kami beribadah kepadaMu, seperti mentauhidkan/mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepadaMu dalam menghadapi semua hambaMu dan lain-lainnya.[6]
B.  Asbab Al-Nuzul dari Surat Al-Fatihah
Bukan tanpa alasan jika surat ini dinamakan fa>tihat al-kita>b (pembuka Alquran), karena kenyataannya Allah menempatkannya sebagai surat yang mengawali seluruh rangkaian firmanNya dalam Alquran. Dan penempatan itu pasti bukan sekedar penempatan. Ada aspek keagungan di dalamnya. Bukan anpa alasan jika surat ini disebut Umm al-kita>b (induk Alquran), Al-S{ala>t (bacaan yang menjadi syarat sah salat), Al-Shifa>’ (obat), Al-Sab’u Al-Mathani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), Al-Ruqyah (sebagai jampi-jampi),dan nama lain yang menyiratkan keistimewaan.[7]
Para ulama berselisih pendapat mengenai letak turunnya surat ini. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Makkah dan termasuk sebagian dari ayat Alquran yang diturunkan di awal-awal penurunan Alquran.[8]
Pendapat ini diperkuat oleh beberapa hadis, yakni[9]:
1.      Dari Abu Utsman Said bin Muhammad bin Ahmad Al-Zahid dari Judy dari Abu Amrun Al-Hiry dari Ibrahim bin Harits dan Ali bin Sahal bin Mughirah, keduanya berkata: kami diberitahu oleh Yahya bin (Abi) Bakir, dari Israil Abi Ishaq dari Abi Maisaroh bahwa Rasulullah SAW keluar, Ia mendengar suatu panggilan yang memanggilnya: hai Muhammad, jika kau mendengar suatu suara, maka berpergilah sambil berlarian, kemudian Waraqah bin Naufal berkata kepadanya: ketika kau mendengarkan suara, maka tetaplah sampai kau mendengarkan apa yang dikatakan untukmu. Lalu berkata: ketika ia keluar, ia mendengar suara: wahai Muhammad. Lalu ia menjawab: labbaik. Lalu suaa itu berkata lagi: katakanlah Ashhadu an la> ila>ha illa Allah wa ashhadu an la> muhammadan rasu>l Allah. Kemudian berkata lagi: katakanlah alh{amdu li Allahi rabbi al-‘a>lami>n * Al-rah{ma>ni al-rah{i>m * ma>liki yaumi al-di>n (hingga akhir surat fatihah).
Ini berdasarkan pendapat Ali bin Abi Thalib.[10]
2.      Dari Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Al-Mufassir dari Al-Hasan bin Ja’far Al-mufassir, berkata: kami diberitahu oleh Abu Al-Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Mawarziyyi, dari Abdullah bin Mahmud Al-Sa’diy dari Abu Yahya Al-Qashriy, dari Marwan bin Muawiyah, dari Ala’ bin Musayyab dari Al-Fudhail bin Amrun dari Ali bin Abi Thalib berkata: pembuka Alquran itu turun di Makkah dari kanz di bawah ‘Arsy.[11]
3.      Ibnu al-anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerima riwayat dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa surat Fa>tihat al-kita>b ini memang diturunkan di Mekkah.[12]
Pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fatihah diturunkan di madinah itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf dan oleh Abu Sai’d bin Al-A’rabi dalam kitab Mu’jamnya dan oleh Ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dari sanad mujahid yang diterima oleh sahabat Abi Hurairah, isi hadisnya yakni: iblis telah dipenjara tatkala Fa>tihat al-kita>b diturunkan, surat ini diturunkan di Madinah.[13]
Tetapi, entah karena sengaja hendak mengumpulkan dua pendapat, ada pula segolongan yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan dua kali, pertama di Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.[14]
Tetapi, menjadi kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila diingat bahwa sembahyang lima waktu mulai difardhukan ialah sejak di Mekkah,[15] sedang tidak masuk akallah jika Nabi saw salat selama di Mekkah tanpa surat ini.[16]

C.    TAFSIR SURAT AL-FATIHAH AYAT LIMA
Pada empat ayat pertama sebelum ayat ini terasa sekali nuansa pujian dan sanjungan kepada Allah sangat kental. Kecuali itu Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan kasih sayangNya yang demikian besar itulah Dia mengatur, mengayomi, dan mendidik alam semesta ini dengan segala isinya,[17] sambil mengundang hambaNya untuk mendekatkan diri kepadNya, karena Dia adalah al-rah{ma>n dan al-rah{i>m dan Dia adalah Raja dan Penguasa Tunggal, khususnya pada hari Pembalasan, maka tidak heran jika hamba-hambaNya yang memahami dan menyadari hal itu, datang mendekat dan memohon kepadaNya.[18]
Dengan prolog itu, manusia diantar pada ayat ke-5 ini yang berisi statemen tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya yang menegaskan bahwa dia hanya menyembah keadaNya dan minta tolong juga kepadaNya sendiri; tidak kepada yang lain dariNya.[19] Untuk lebih jelas inilah tafsirannya.
(نعبد إيّاك) dalam lafadz ini terjadi iltifat (iltifat yakni perpindahan dari bentuk takallum ke bentuk ghoib atau khitob atau sebaliknya, yakni dari bentuk ghoib ke bentuk takallum atau khitob, atau dari bentuk khitob ke bentuk ghoib atau takallum[20]), dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Dalam iltifat ini adalah salah satu macam metode Ilmu Balaghah. Kalau mengikuti kalimat sebelumnya tentu berbunyi “iyya>hu na’budu” (kepadaNya kami menyembah), tetapi kemudian dialihkan dari dhamir ghaibah ke dhamir mukhatab karena untuk maksud menggunakan metode iltifat.[21] Hal ini untuk menarik perhatian pehatian pendengar agar memerdulikan pembicaraan, tujuan ini akrab disebut dengan iltifat.[22]
Di samping itu, iltifat tersebut juga bertujuan untuk mengkhususkan (ikhtishos), bahwa seorang hamba hanya menyembah kepadaNya, tidak kepada yang lain.[23] Ibadah yang dilakukan tidak kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Jika demikian pandangan hati sepenuhnya hanya kepadaNya dan dengan demikian, untuk kedua kalinya muncul hakikat pengawasan yang menjadi tema utama surat Al-Fatihah. Ini diperkuat oleh kata ibadah yang intinya adalah penyerahan diri secara penuh kepada Allah.[24]
Na’budu dan nasta’i>nu ini menggunakan kata jama’, tidak menggunakan kata a’budu atau asta’i>nu. Ini menyimpan beberapa hikmah. Diantaranya:
1.        Nun tersebut bertujuan untuk pernyataan halus, yakni pengakuan seorang hamba dengan segala kerendahannya kepada Rajanya segala raja yang Maha Agung dan Maha Tinggi, dan memohon pertolongan (isti’anah) dan hidayah dengan sendirian tanpa orang lain, ini seakan-akan ia berkata, “wahai Tuhan, saya hamba yang hina dina dan saya tidak patut untuk berdiri di tempat ini dalam bermunajat kepadaMu dengan diriku sendiri, tetapi saya menyatukan diri bersama ahli tauhid, kemudian saya berdoa bersama mereka dan kami semua menyembahMu dan beristianah kepadaMu.[25]
2.        Nun tersebut juga bertujuan sebagai peringatan bahwa salat secara berjamaah itu lebih utama. Sebagaimana hadis Nabi:
التّكبيرة الأولى في صلاة الجماعة خير من الدّنيا و ما فيها
Yakni, takbir pertama dalam salat berjamaah lebih baik daripada bumi dan seisinya.[26]
3.        Maksud dari jama’ tersebut adalah aku menyembahMu dan para malaikat bersamaku. Bukan atas nama semua yang hadir, melainkan semua hamba-hambaMu yang shalih.[27]
4.        Semua orang mukin adalah saudara. Maka seakan-akan Allah berkata: “untuk apa kau memujiku dengan perkataanmu (. الرّحمن الرحيم العالمين ربّ لله الحمد.) maka meninggilah derajatmu di hadapan kami, maka jangan meringkas pembenahan keadaanmu, tetapi kamu harus berusaha untuk membenahi keadaan semua saudara-saudaramu, maka katakanlah (إيّــــاك نعبد و إيّــــاك نستعيـن)[28]
Frase na’budu juga mengandung makna spesifik yang berbeda dari kosakata lainnya yang seakar dengannya seperti ‘abadna> (عبدنا), kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Ungkapan ini berkonotasi “kami sudah mengabdi”. Perbedaan maksan tersebut dikarenakan bedanya dua bentuk kosakata itu. Yang satu menginformasikan peristiwa yang terjadi di masa lampau (madhi) dan yang lain menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di masa sekarang (fi’il mudhari’). Dapat digunakannya kata kerja masa sekarang untuk menyatakan pengabdian kepada Allah, maka berarti pengabdian tersebut berlangsung secara terus-menerus secara berkesinambungan. Seandainya yang digunakan adalah kata kerja masa lampau (‘abadna>), maka ungkapan untuk menginformasikan bahwa pengabdian yang dilakukan tersebut sudah berlalu; boleh jadi sekarang tidak mengabdi lagi.[29]
 (و إيّــــاك نستعيـن), paruh kedua dari ayat ke-5 ini pemahamannya tidak jauh dari yang pertama, yakni sama-sama menegaskan ketulusan mengabdi semata-mata kepada Allah, sedangkan yang kedua menegaskan ketulusan minta pertolongan juga semata-mata dari Allah, tidak dari yang lain. Mengingat kondisi yang demikian maka frase ‘إيّــــاك’ tidak perlu diulang lagi karena konotasinya sama dengan yang  telah diuraikan pada paragraf yang lalu itu[30]  (penggunaan iltifat dan penggunaan fiil mudhari’).
Huruf wawu yang terletak sebelum iyya>ka yang kedua adalah wawu ‘athof, yakni menunjukkan kesatuan (musytarok) dalam i’rob dan ma’na dengan lafadz yang sebelumnya.[31] Adapun sin dari lafadz nasta’i>n adalah sin dari wazan istaf’ala (إستفعل) yang berfaedah untuk permintaan (li al t{alab). Maksudnya, seorang hamba meminta pertolongan kepadaNya atas ibadah.[32]
Dalam ayat ini lafadz na’budu lebih didahulukan daripada lafadz nasta’i>n serta mengulangi lafadz iyya>ka. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah, karena itu ia lebih wajar didahulukan dari pada meminta pertolonganNya. Bukankah sebaiknya Anda mendekat sebelum meminta? Di sisi lain ibadah dilakukan oleh orang yang bermohon sedang meminta bantuan adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta. Memulai dengan upaya yang dilakukan sendiri, lebih wajar didahulukan daripada upaya dengan meminta bantuan pihak lain. Selanjutnya salah satu hal yang diharapkan bantuanNya adalah menyangkut ibadah itu sendiri, sehingga menjadi sangat wajar menyebut ibadah terlebih dahulu yang merupakan azam dan kebulatan tekad si pemohon baru kemudian memohon agar dibantu antara lain dalam meraih kesempurnaan ibadah dimaksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi, adalah lebih tepat menyebut nasta’in sebagai akhir ayat agar iramanya sama atau mirip dengan ayat sebelum dan sesudahnya.[33]
Selain itu, alasan mendahulukan lafadz na’budu dan mengakhirkan lafadz nasta’i>n adalah karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap TuhanNya. Tetapi, pertolongan dari Allah kepada hambaNya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajarkan hambaNya agar menunaikan kewajibannya terlebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.[34]
Pengulangan kata iyya>ka perlu, karena iyya>ka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti penghususan mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan apapun selain Allah, karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan muncul unsur pamer atau riya’. Sedang dalam meminta bantuan, memang tidak ada salahnya meminta pula bantuan kepada selain Allah dalam hal-hal yang termasuk hukum sebab-akibat (segala sesuatu yang etrjadi dan memiliki alasan mengapa terjadi). Bukankah Allah memerintahkan kita untuk saling tolong menolong? Tetapi harus disadari bahwa pada hakikatnya bantuan yang diharapkan itu tidak dapat terwujud tanpa izin dan restu Allah.[35]
Orang yang mengetahui bahasa arab sesempurna-sempurnanya, sehingga dapat merasakan “al-dhauq al-‘araby” yaitu satu macam “rasa” yang hanya terdapat dalam bahasa dan kesusatraan arab saja, akan dapatlah merasakan kuat, kokoh, tegas dan indahnya susunan sastra bahasa yang mendahulukan kata-kata iyya>ka sebelum kata-kata na’budu dan nasta’i>n, dan berulang dua kali kata-kata iyya>ka itu, satu sebelum na’budu dan satu lagi sebelum nasta’i>n lalu dibatasi antara keduanya dengan kata penghubung dan yaitu wa.[36]
Jika pembaca merasa-rasakan susunan ayat yang berulang-ulang ini. Iyya>ka na’budu, yang artinya hanya Engkaulah yang kami sembah dan iyya>ka nasta’i>n, yang artinya hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan. Dan jika pembaca membaca susunan yang biasa, “kami sembah Engkau dan kami meminta tolong kepada Engkau.” Pada susunan yang pertama, dapat dimengerti bahwa penyembahan itu tidak kepada yang lain kecuali hanya Engkau. Namun pada susunan yang kedua, bisa jadi pembaca mengartikannya menjadi, selain menyembah yang lain, kami juga menyembah Engkau.[37]
Berdasarkan pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan, melainkan mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan oleh Sang Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.[38]
D.    Isi Kandungan Syari’ah Dalam Surat Al-Fatihah Ayat Lima
Setelah seorang hamba menyanjung dengan sifat yang paling indah, ia –sebagaimana yang diajarkan Allah SWT- melanjutkannya dengan memohon sesuatu paling baik yang memang seharusnya dipintakan kepada Rabb Maha Agung yang memiliki sifat mulia ini. Yang sifat tersebut tak ada yang menandinginya.[39]
Kemudian seorang hamba menghadap kepadaNya dengan beribadah dan memohon agar diberi pertolongan dalam menjalankan ibadah tersebut. Ini merupakan tawassul dengan ubudiyyah (menghambakan diri) dan tauhid, setelah ber-tawassul dengan nama-nama dan sifat mulia Allah SWT yang Maha Tinggi dan Terpuji. Dengan kedua tawasssul ini (tawassul dengan Asma’ul Husna dan tawassul dengan ibadah) hampir doa seorang hamba tidak mungkin ditolak.[40]
Ayat ini terbagi dua, seperdua pertama untuk Allah (kewajiban hamba kepada Tuhannya), dan seperdua kedua untuk Hamba Allah (hak seorang hamba dari Tuhannya), Iyya>ka na’budu untuk Allah, Iyya>ka nasta’i>n untuk Hamba Allah.[41] Jadi ayat ini mengandung dua persoalan pokok yaitu soal ibadat dan soal minta pertolongan (doa). Soal agama seluruhnya tersimpul di dalam kedua persoalan pokok ini, yaitu IBADAT dan DOA.[42]
1.                  Ibadah
Ibadah berarti mentaati dengan perasaan rendah dalam mengabdi, hamba yang patuh dengan tunduk. Sedangkan menurut istilah syara’, ibadah merupakan suatu sikap yang menghimpun rasa kecintaan, ketundukan, dan takut.[43]
Menurut Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya juga menjelaskan bahwa ibadah adalah menghambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita HambaNya, budakNya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadah kepadaNya disertai oelh raja’, yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki dan tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia.[44]
Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Sikap beragama secara keseluruhan berpangkal dari makna kedua kalimat ini, sehingga ulama-ulama dahulu mengatakan, bahwa rahasia Alquran ada di dalam surat Al-Fatihah dan rahasia surat Al-Fatihah ada di dalam kedua kalimat ini. Sebab, kalimat yang pertama menunjukkan makna bebas dari syirik, sementara yang kedua bebas dari daya dan kekuatan serta menyerah bulat-bulat kepada Allah. Pengertian yang sama juga terdapat dalam firman Allah[45]:
واعبده و توكّل عليه. (هود: 123)
“maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan.”
Imam Ja’far ash-Shadiq –sebagaimana dikutip oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al-Iman mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah.1) si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah milik tuannya.2) segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa  yang kepadanya ia mengabdi.3) tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengkaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.[46]
Ketika seseorang menyatakan iyya>ka na’budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepadaNya sedang puncak adalah ihsan.[47]
Perlu diingat bahwa ibadah atau pengabdian yang dimaksud dalam ayat kelima ini tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam (fiqh) yakni salat, puasa, zakat dan haji, tetapi, mencakup segala macam aktivitas manusia, baik pasif maupun aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan langkah itu adalah Allah, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang diajarkan Allah dalam surat Al-An’am ayat 162[48]:
إنّ صلاتي و نسكي و محياي و مماتي لله ربّ العالمين
“sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku (kesemuanya), demi karena Allah pemelihara seluruh alam.”
Ibadah dinamakan “ibadah” bila terhimpun dua pokok di dalamnya, yaitu cinta (hubb) dan tunduk (khudhu’). Orang yang hanya cinta saja, tetapi tidak tunduk atau tunduk saja tetapi tidak cinta, maka tidaklah dinamai beribadah. Cinta dan tunduk itu ditunjukkan hanya kepada satu dzat yaitu Allah saja. Inilah yang dinamakan “tauhid.”[49]
Mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk dimohoni pertolongan sebagai robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.[50]
Untuk misal yang mudah tentang tahid uluhiyah dan tauhid rububiyah ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman dilepaskan dari satu kesulitan. Tentu kita mengucapkan terimakasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong misalnya oleh Ahmad, lalu kita mengucapkan terimakasih kepada si Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat dari Allah mengucapkan terima kasih kepada berhala.[51]
Tauhid yang dianut agama Islam harus meliputi tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Di samping percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan segala-galanyaini, juga percaya bahwa hanya Allah sajalah yang patut disembah dan dimintai pertolongan.[52]
Ibadah tidak akan dinamai ibadah bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu[53]:
1)      Ibadah itu harus karena Allah dan untuk Allah semata.
2)      Cara-caranya beribadah harus seratus persen seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Bila suatu ibadah dilakukan tidak ikhlas untuk Allah, atau tidak sepanjang apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Maka tidaklah dapat dinamai ibadah lagi, tetapi boleh dinamai gerak badan atau latihan biasa, atau namakanlah olahraga atau taiso dan lain-lain.[54]
2.        Meminta pertolongan kepada Allah (isti’a>nah)
Isti’a>nah atau memohon pertolongan kepada sesama makhluk maknanya adalah meminta (kepada orang lain agar diberi) kemudahan dan pertolongan pada suatu pekerjaan yang sulit dilaksanakan oleh seseorang.[55]
Tetapi isti’a>nah (memohon pertolongan) yang disebutkan dalam ayat ini adalah, isti’a>nah yang terjadi antara makhluk dengan Sang Khaliq. Sebab seorang hamba tidak mempunyai kemampuan secara independen yang bisa menyampaikan kehendaknya tanpa ada pertolongan dari Allah SWT. Karena kehendak seorang hamba selalu mengikut dan tidak terlaksana kecuali jika sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kehendak Allah SWT inilah yang menguasai dan meliputi segalanya.[56]
Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Para ulama mendefinisikan sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah mencapai apa yang diharapkan.”[57]
isti’a>nah atau berdoa harus pula menghimpun dua pokok yaitu berserah diri (thiqah) dan menggantungkan harapan (i’timad) sebulat-bulatnya kepada Allah. Tidaklah dinamakan berdoa atau isti’a>nah kepada Allah, bila seorang tidak memercayakan diri atau berserah diri bulat-bulat kepada Allah, lalu menggantungkan nasib atau harapan seratus persen kepada Allah saja.[58]
Kalimat ibadah juga termasuk kandungan isti’anah di dalamnya, sedang dalam kalimat isti’a>nah tidak terkandung ibadah di dalamnya. Jadi, ibadah lebih umum. Orang yang benar-benar beribadah, pasti didampingi dengan permohonan (isti’anah), tetapi belum tentu seorang yang bermohon kepada Allah, juga menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan Allah. Berapa banyaknya orang-orang yang menginginkan sehat, kekayaan, dan lain-lain bermohon dan berdoa kepada Allah, tetapi mereka tidak beribadah menyembah Allah.[59]
Sekalipun demikian, isti’anah tetap menjadi bagian atau sebagian dari ibadah. Beribadah berarti menjalankan sesuatu untuk Allah, sedang bermohon ialah mengharapkan sesuatu dari Allah. Jadi, ibadah jauh lebih tinggi dan lebih suci dari isti’anah. Sebab ibadah tidak dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar ikhlas dan iman, sedang isti’anah dapat saja dilakukan oleh orang-orang yang tak ikhlas imannya. Malah kadang-kadang dilakukan oleh orang-orang yang fasiq atau bajingan-bajingan besar.[60]
Ibadah juga berarti mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang. Sedang isti’anah ialah mengharapkan nikmat atau rahmat dari Allah.[61]
Kedua pokok ini dicakup oleh satu kata saja yaitu tawakkal. Dan tawakkal inilah yang menjadi hakikat atau pengertian yang sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya dari ayat iyya>ka na’budu wa iyya>ka nasta’i>n.[62]

E.     Munasabah Ayat
Pada surat Al—Fa>tihah  ayat lima yang berbunyi:
إيّــــاك نعبد و إيّــــاك نستعيـن
Dari ayat ini, diketahui jelas bahwa persembahan, ibadah, serta meminta pertolongan itu tiada lain kecuali kepada Allah. Karena, Dia sendiri tidak bersekutu dalam mengkonsep dan mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Hal ini terdapat korelasi dengan Surat Al—Fa>tihah  ayat kedua[63] yang berbunyi:
الحمد لله ربّ العالمين
Dalam ayat ini, lafadz ila>h lebih didahulukan dari pada lafadz rabb, ini merupakan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang patut dipji, karena Dia telah memelihara alam semesta.[64] Karena, rabb disitu hanya sebagai keterangan yang bersifat na’at.[65]
Dengan demikian, menjadikan Allah sebagai dzat satu-satunya yang disembah dan dimintai pertolongan karena Allah adalah penguasa seluruh alam.[66]

F.     Analisis
Dalam surat Al—Fa>tihah ayat lima ini memberikan kita pengertian, bahwa Allah lah dzat yang layak dan patut di sembah, Dialah yang agung dan berhak dimintai pertolongan, tiada lain selain dia. Karena Dialah Tuhan manusia yang memberikan banyak nikmat dan telah menciptakan segalanya. Dan meminta tolong pada selain Dia berarti telah menyekutukannya (syirik).




[1]Alquran karim
[2]Abi Bakar Jabir Al-Jarairy, Aysar Al-Tafaasiri, (Madinah Munawwarah: Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam, 1994) 14
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahaaly dan Jalaluddin Muhammad Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi, Tafsiir Jalaalyn, (Beirut Lebanon: DKI, tt) th
[6]Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi, Tafsir Jalalain, cetakan 9, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 2
[7]Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fatihah, Cetakan Kedua (Surabaya: eLBA, 1429 H), 5
[8]Al-imam Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon: DKI, tt), 21
[9]Ibid, 21-22
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 80
[13]Ibid, 43
[14]Ibid, 81
[15]Ibid, 81
[16]Al-imam Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon: DKI, tt), 23
[17]Prof. Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fatihah, cetakan pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71
[18] Shihab, Tafsir Almisbah.., 49
[19] Baidan, Tafsir Kontemporer .., 71
[20]M. Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun, cetakan pertama, (Jombang: Darul Hikmah, 2007), 162
[21]H. Muammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemah Ayat ahkam Ash-Shobuni, cetakan keempat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 7
[22]Al-Syekh Muhammad Ali Al-Shobuny, Rawai’ Al-Bayan, juz 1 (Beirut Lebanon: DKI, 1999), 29
[23]Al-Imam Al-Qadhi Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-Syairazy Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt) 63
[24] Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 52
[25] Al-Shobuny, Rawai’ Al-Bayan.., 29
[26]Nidzom Al-Din Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy Al-Naisabury, Tafsir Gharaib Alquran wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama (Beirut Lebanon: DKI, tt), 104
[27]Ibid
[28]Ibid, 104-105
[29]Baidan, Tafsir Kontemporer ..,75
[30]Ibid, 76
[31]Al-Mufassir Abi Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Al-Dimasyq Al-Hanbaly, Al-Lubab Fii ‘Ulum Al-Kitab, juz 1 (Beirut, Lebanon: DKI, 1971), 200
[32]Ibid
[33]Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 62
[34]Kementrian Agama RI,Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), 19
[35] Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 62-63
[36]H. Bey Arifin, Samudera Al-Fatihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972), 213
[37]Ibid
[38] Baidan, Tafsir Kontemporer .., 75
[39]Al-Qasim, Misteri Surat.., 80
[40]Ibid, 81
[41] Arifin, Samudera Al-Fatihah.., 209
[42] Ibid, 210
[43] H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002), 28
[44] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103
[45] H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat .., 28
[46] Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 53
[47]Ibid
[48]Ibid, 55
[49]Arifin, Samudera Al-Fatihah.., 210
[50]Hamka, Tafsir Al-Azhar.., 102
[51]Ibid
[52]Arifin, Samudera Al-Fatihah.., 210
[53]Ibid, 219
[54]Ibid
[55] Al-Qasim, Misteri Surat.., 105
[56]Ibid
[57]Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 58
[58]Arifin, Samudera Al-Fatihah.., 211
[59]Ibid, 212
[60]Ibid, 212
[61]Ibid
[62]Ibid  
[63]Arifin, Samudera Al-Fatihah.., 211
[64]Hamka, Tafsir Al-Azhar.., 103
[65]Baidan, Tafsir Kontemporer .., 47
[66]Shihab, Tafsir Al-Misbah.., 56